Jumat, 26 Oktober 2012

Emotional Brand Account





Berbicara soal komunitas merek, memang tidak bisa sebatas memelihara hubungan baik dengan mereka. Apalagi sekadar mendukung program ataupun memberikan diskon atas loyalitas mereka. Komunitas adalah bentuk lain Emotional Brand Account yang bisa kita tarik hasilnya dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, sudah barang tentu, mereka menjadi third party endorser dan menjadi “booster” penjualan.  Nah, jangka panjangnya (banyak di antara kita yang belum banyak tahu), komunitas bisa menjadi mortir hidup ketika perusahaan mengalami krisis.  Memang, istilahnya terdengar sedikit bombastis. Tetapi, marilah kita bahas bersama-sama.
Dalam situasi di mana dunia tengah dilanda krisis, dan Indonesia belum sepenuhnya terimbas dampaknya, mari kita mendiskusikan bagaimana menyiapkan mortir hidup bagi merek kita. Toh, pada kenyataannya beberapa merek telah merasakan hal tersebut. Para rider Harley-Davidson pernah mengumpulkan kekayaan mereka (bukan sekadar uang) untuk membeli Harley-Davidson yang diancam kebangkrutan. Slankers, para penggemar Slank, langsung bersiap menjadi tameng begitu grup pujaan mereka dihujat anggota dewan karena lagunya menghina “senayan”; karyawan KemChick milik Bob Sadino pernah bersedia untuk tidak digaji selama krisis berlangsung. LSM-LSM pencari masalah justru dihalau oleh masyarakat sekitar Indocement ketika mereka akan mencari gara-gara di Indocement.


Tulisan ini, mudah-mudahan sekaligus menjadi tanggapan terhadap “complaint” beberapa teman dari Corporate Public Relations yang juga ingin memiliki “konsumen loyal” seperti halnya merek produk, tapi merasa kewalahan karena semakin memberikan treatment pada masyarakat, justru semakin manja mereka. Dikurangi treatment, malah cenderung anarkis.  Seperti buah simalakama.
Situasi yang hampir mirip sekarang tengah terjadi di Samarinda, lokasi di mana banyak perusahaan minyak melakukan eksplorasi. Semakin banyak berdirinya lembaga-lembaga tradisional berbasis kepentingan adat lokal menandakan kecemasan suku setempat—dalam hal ini suku Dayak—terhadap proses perkembangan sosial ekonomi yang berlangsung. Singkatnya, pasti ada yang salah dengan program-program CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (terutama minyak) setempat ketika membangun Emotional Brand Account.
Sekadar perbandingan sederhana, ini bisa kita lihat dengan maraknya paguyuban-paguyuban yang mengatasnamakan suku Betawi di Jakarta.  Saking terancamnya eksistensi mereka di kampung halaman sendiri, mereka sampai harus membentuk jaringan sosial pengaman keberadaan mereka. Yang buruk dari model-model jaringan sosial pengaman seperti ini adalah bentuk solusi yang dihadirkan. Karena sudah di ambang keputusasaan, maka solusi fisik dan kekerasan acap kali dijadikan andalan.


Corporate Living Brand
Lantaran merasa tidak memiliki tanggung jawab terhadap angka penjualan, teman-teman di Corporate PR sering kali tidak memiliki semangat “bertahan hidup” sekuat teman-teman di Marketing PR (yang nasibnya sangat ditentukan oleh peraihan angka-angka profit). Berhubung Key Performance Indicator yang diberikan hanya sebatas terlaksananya program, maka sangat sedikit teman-teman di Corporate PR yang menjadikan target audiens mereka sebagai corporate living brand—sebagai merek perusahaan yang hidup dan berada di sekitar lingkungan sosialnya.
Kalaupun ada output yang dihasilkan, biasanya hanya sebatas program CSR yang telah berlangsung baik. Kalau CSR-nya adalah penghijauan, maka pohonnya telah tertanam baik. Kalau beasiswa, penerima beasiswa sudah menerima uang bulanan secara rutin. Sekali lagi, sangat sedikit yang mempertimbangkan penerima tanaman dan beasiswa untuk menjadi “living brand” bagi perusahaan mereka.
Padahal, dalam situasi di mana perusahaan tengah mengalami krisis, sebetulnya adalah sebuah keuntungan tersendiri jika kita memiliki pagar-pagar hidup yang melindungi perusahaan. Jangan salah, mereka bukanlah lilin yang mengorbankan diri untuk kehidupan perusahaan. Tetapi, mereka akan menyisihkan sebagian energi untuk membantu kelangsungan hidup perusahaan yang tengah krisis; karena mereka tahu bahwa energi itu mereka dapatkan dari perusahaan tersebut. Dan, dengan menyisihkan sebagian energi hidup mereka, maka mereka akan mempertahankan sumber energi kehidupan mereka sendiri. Itulah Emotional Brand Account.
Hal ini bisa dibentuk jika paradigma awal saat menjalankan CSR dibangun atas basis outcomes, bukan sekadar output. Dengan berpikir outcomes, maka Corporate PR akan melakukan “stretching” target yang tidak berhenti hingga terselenggaranya program CSR, tapi juga harus yakin betul bahwa program tersebut berdasarkan kebutuhan masyarakat dan bisa memberdayakan masyarakat, hingga pada akhirnya bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa sedikit pun bantuan perusahaan.
Satu hal lain yang paling penting, Corporate PR harus mampu meyakinkan manajemen bahwa program tersebut akan  memiliki kemandirian dan kontinuitas. Kemandirian dalam arti perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya, atau justru kontinuitas di mana program tersebut akan menjamin keberlangsungan perusahaan (hingga dengan sendirinya menjadi keberlangsungan program CSR itu sendiri).


Kontraproduktif CSR
Key Performance Indicator yang hanya sebatas done, di mana program itu dinilai berdasarkan “sudah dijalankan atau belum”, bukannya tanpa risiko.  Tanpa kontrol efek jangka panjang, program-program CSR malah akan menimbulkan efek sosial yang semakin parah. Bukannya memperbaiki lingkungan sosial perusahaan, malah sebaliknya.
Kembali pada kasus Samarinda, di mana masyarakat asli suku Dayak malah mendirikan lembaga-lembaga sosial eksklusif yang melindungi adat mereka, ini merupakan salah satu indikator bahwa CSR yang dijalankan banyak perusahaan di Samarinda malah kontraproduktif.
Sebelum muncul peristiwa-peristiwa sosial yang menghebohkan, sebaiknya praktisi Corporate PR duduk bersama sejenak, kalau perlu mengundang pakar-pakar brand loyalty, agar mampu mengevaluasi kinerja program CSR. Syukur-syukur kalau dari duduk bersama tadi bisa menciptakan corporate living brand, dan menghindari terciptanya corporate killing brand. (www.marketing.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar