Rabu, 24 April 2013


Brand Harus Jadi Jiwa / Roh Perusahaan



Merek atau brand merupakan perekat fungsi dalam dunia pemasaran sebuah organisasi.

Bagi konsumen, brand dengan nama besar, kerap dijadikan acuan memilih produk. Satu sisi, perusahaan yang berlabel brand ternama sering kali lupa diri mempertahankan merek yang dimiliki.

Alhasil, brand yang mereka punya lenyap dalam pusaran persaingan dengan produk lain.

Bagaimana sesungguhnya membangun dan mempertahankan sebuah brand, Bisnis berkesempatan mewawancarai Daniel Surya, Chairman & Presiden DM-IDHolland untuk kawasan Asia Tenggara. Berikut kutipannya:


Bagaimana caranya mempertahankan merek?

Brand atau merek tidak bisa sekadar diberlakukan sebagai kampanye. Membangun brand perlu komitmen, diferensiasi, dan inovasi.

Kadang, diferensiasi ini muncul dari komitmen pemilik perusahaan atau owner.

Hanya saja, banyak perusahaan di Indonesia menjelang atau memasuki generasi baru, penerusnya ini tidak mampu membangun kepercayaan atas brand yang telah diciptakan.

Inovasi yang dilakukan justru membuat brand tenggelam karena kurang dipercaya pasar.

Brand merupakan jiwa dari sebuah perusahaan. Ketika hati atau jiwa sudah hilang, maka runtuhlah brand tersebut.


Bagaimana cara menempatkan brand?

Jangan hanya sekadar melihat brand sebagai bentuk komunikasi eksternal perusahaan kepada masyarakat atau konsumen.

Bangun pula brand sebagai komunikasi internal. Bagaimana­pun, inovasi berangkat dari perusahaan.

Maka, orang-orang di sekitar perusahaan yang membangun inovasi inilah yang perlu menciptakan ko­­munikasi terhadap brand dan inovasi kepada publik.


Setelah brand mapan, apakah harus berhenti di titik itu?

Branding tidak mengenal spot mapan. Sama dengan desain yang terus bergerak dan berkembang.

Kalau ada brand manager dengan target yang ingin dicapainya hanya sekadar mencari spot mapan buat produknya, dia bukan brand ma­nager yang baik.

Brand harus tetap berkembang, bergerak, dan berubah, supaya bisa menyesuaikan serta mampu menyeimbangkan dengan perubahan pasar.

Saat berada di titik mapan, boleh saja kita lihat sejenak, tetapi jangan langsung puas. Harus ada inovasi lagi.


Bagaimana dengan kampanye gerakan cinta produk dalam negeri?

Konsumen itu human. Kita tidak bisa memaksa konsumen, terutama mereka yang sudah melek dengan teknologi untuk bersikap seperti dulu.

Mungkin dulu mereka bisa dipaksa, karena keterbatasan informasi. Sekarang ini, konsumen ha­­rus dilihat sebagai bagian dari glo­bal community dan global citizen.

Cara menarik perhatian mereka, ya produk yang kita bangun harus mampu bersaing secara global.

Bagaimana mungkin konsumen sebagai bagian dari global citizen yang mudah menangkap informasi ini hanya dihadapkan pada produk dengan standar yang tidak cocok dengan pilihan mereka.

Sekadar kampanye dalam konteks global citzen sudah tidak bisa dipaksakan lagi. Konsumen yang smart tentu akan memilih produk yang tepat bagi dirinya.

Jika lebih banyak produk buatan Indonesia, secara bersamaan kita juga harus membangun brand asli Indonesia, dampaknya pasti terasa.

Jadi, kita tidak sekadar membuat produknya saja, tetapi juga harus membangun merek.

Anda melihat banyak brand lokal yang berada di comfort zone?

Harus diakui, banyak perusahaan yang sudah merasa puas dengan brand yang telah mereka bangun.

Mungkin secara bisnis mereka masih bisa bertahan, tetapi untuk brand yang mereka punya tentu bisa tergerus dengan brand lain.


Potensi perusahaan lokal sebagai pemain global?

Berapa banyak produk kita yang diberi label brand yang sudah terkenal. Berapa banyak sumber daya kita yang bekerja di perusahaan kreatif asing.

Soal produk, kita punya. Tinggal kita melahirkan brand yang menjadi perhatian global.

Brand merupakan bagian dari industri kreatif. Industri kreatif telah membuktikan diri berhasil menjadi sebagai penyangga ekonomi

Manager : Produk & Jasa Kunci Sukses suatu Manajemen Perusahaan

Produk  &  Jasa Kunci Sukses suatu Manajemen Perusahaan



Strategi dan efisiensi operasi memang penting, tetapi kunci kesuksesan perusahaan tetap terletak pada produk atau jasa yang ditawarkan--
Perusahaan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan sumber daya untuk menjadi sukses, akan tetapi, kunci dari bisnis sebenarnya sederhana: produk atau jasa yang ditawarkan haruslah diinginkan pelanggan. Produk ini tidak hanya harus memiliki nilai yang lebih tinggi dari pesaing, tetapi juga lebih tinggi dari nilai uang yang rela dikeluarkan pelanggan.
Ketika melihat peluang bisnis baru, selalulah menanyakan “Siapa target pelanggan Anda?” dan “Mengapa mereka bersedia membayar produk Anda, dan bukan produk pesaing?”

Produk idaman bukanlah suatu kebetulan – mereka dikembangkan melalui tahapan kompleks yang membutuhkan kreativitas dan kerja keras. Proses pengembangan produk baru penting bagi kesuksesan perusahaan; dan tahap paling vital adalah memahami value pelanggan – tahap inilah yang merupakan senjata rahasia para inovator.

Setelah menetapkan target pelanggan, tahap selanjutnya adalah memahami apa yang mereka inginkan; voice-of-customer (VOC) atau suara pelanggan dapat membantu Anda untuk mengerti tentang mereka.

Ada beberapa cara untuk mengumpulkan VOC, baik kuantitatif maupun kualitatif. Metode paling mudah tentu saja dengan menunggu pelanggan memberitahu langsung apa yang mereka inginkan. Metode proaktif adalah dengan mengumpulkan suara pelanggan melalui channel formal, biasanya diawali dengan metode kualitatif seperti interview dan observasi, kemudian disusul metode kuantitatif seperti survei.

Walau banyak informasi dapat diperoleh dari VOC, kebutuhan pelanggan sulit untuk dibandingkan satu sama lain dan tidak dapat diterjemahkan langsung ke dalam spesifikasi produk. Contoh “kebutuhan” didefinisikan sebagai kenyamanan, kehandalan dan keamanan.
Namun pelanggan mempunyai definisi yang berbeda– definisi seseorang mengenai kenyamanan berbeda-beda. Bahkan ketika definisi dapat dimengerti, bagaimana anda bisa mengartikan kalimat “Keamanan 50% lebih penting daripada kenyamanan”? Bagaimana Anda akan mengalokasikan biaya produksi Anda untuk mengoptimalkan valuepelanggan?
Kebutuhan yang lebih spesifik seperti “Intel Core i5 CPU M560” mungkin diungkapkan oleh pelanggan. Namun, seberapa penting spesifikasi ini bagi pelanggan? Bagaimana Anda melakukan kompromi antara kebutuhan satu pelanggan dengan yang lain?
Kekurangan VOC, seperti contoh di atas, adalah tidak adanya kerangka formal yang dapat digunakan untuk membandingkan dan menerjemahkan kebutuhan ke dalam spesifikasi produk.
Berbasis Desired-Outcome
Seperti yang diusulkan oleh Clayton Christensen dari Harvard dan Anthony Ulwick di dalam bukunya, kerangka terbaru VOC menggunakan konsep jobs-to-be-done dan desired outcome. Konsep pertama memaparkan bahwa bahwa pelanggan akan membeli produk atau jasa untuk membantu mereka menyelesaikan suatu kegiatan.

Kegiatan ini kemudian diasosiasikan dengan desired outcome atau hasil ideal yang diinginkan pelanggan. Misalnya jobs-to-be-done sebuah mobil adalah untuk mengangkut penumpang dari titik A ke titik B, sementara desired outcome-nya adalah untuk meminimalisir guncangan saat perjalanan.

Pernyataan jobs-to-be-done dan desired-outcome haruslah jelas dan konsisten agar dapat mudah dimengerti  dan diterjemahkan ke dalam spesifikasi teknis.

Selama pengumpulan data, pelanggan mengkonfirmasi outcome yang mereka inginkan dan anda harus memilih outcome yang paling relevan bagi mereka. Anda juga dapat melakukan survei kuantitatif untuk menentukan seberapa penting masing-masing outcome. Hasil survei dapat digunakan selama brainstorming untuk menemukan solusi dan desain yang inovatif. Konsep produk kemudian dapat dilakukan dengan mengkombinasikan pandangan ini dengan analisa pesaing.

Ada empat keuntungan kerangka desired-outcome dibandingi cara VOC tradisional yaitu, pertama mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi value pelanggan. Kedua,  inovasi yang lebih fokus dan perencanaan yang jelas.
Ketiga, mempermudah penerjemahan bahasa pelanggan ke spesifikasi produk dan keempat, menghubungkan value yang diinginkan pelanggan dengan pesan yang akan disampaikan pemasaran.
Salah satu studi kasus yang pernah kami jumpai adalah mendesain produk baru bagi pabrikan bus. Pabrikan tersebut menghadapi persaingan ketat di beberapa segmen dan mengalami kesulitan untuk tumbuh di segmen lainnya. Sangat penting bagi mereka untuk mengembangkan produk baru yang sukses di pasar.
Kebutuhan pelanggan dikumpulkan dan dianalisa menggunakan kerangka desired-outcome, yang kemudian diterjemahkan ke dalam spesifikasi fungsional dan kinerja yang baru. Hasil akhirnya adalah sebuah konsep produk yang menawarkan proposisi nilai yang jauh lebih baik dan kompetitif.

Dengan menggunakan teknik outcome-driven, diidentifikasi enam proposisi inovasi dan menemukan solusi desain yang dapat meningkatkan nilai produk bus baru di mata pelanggan. Beberapa kebutuhan pelanggan tidaklah mengejutkan, seperti efisiensi bahan bakar. Dalam waktu enam bulan setelah studi dilakukan, pabrikan dapat mengembangkan platform baru yang lebih irit bahan bakar sebesar 10% melalui peningkatan aerodinamika dan pengurangan berat kendaraan.
Beberapa kebutuhan lain yang belum pernah terpikirkanpun teridentifikasi. Contohnya adalah fitur kursi untuk supir. Didapatkan bahwa supir bus menggunakan kompartemen bawah bagasi untuk tidur siang karena tempat duduk supir yang sempit tidak mengakomodasi kebutuhan ini.
Para engineer kemudian merancang panel pembagi bergerak di belakang kursi pengemudi yang memungkinkan kursi untuk dimiringkan membentuk tempat tidur. Sekarang supir dapat dengan mudah berbaring dan tidur tempat yang nyaman.
Dengan menerapkan kerangka desired-outcome, perusahaan dapat mengembangkan produk baru yang mengedepankan value pelanggan, dan pada saat yang bersamaan, mengurangi atribut produk yang tidak penting bagi mereka.

Kebutuhan pelanggan dapat didefinisikan dengan dua faktor: jobs-to-be-done dan desired-outcome. Dengan memahami desired-outcome, akan lebih mudah untuk membandingkan, memprioritaskan dan menerjemahkan keinginan pelanggan ke dalam spesifikasi produk. Ini adalah senjata rahasia para inovator, sebuah kerangka untuk memahamivalue bagi pelanggan, yang dapat membantu perusahaan dalam menciptakan produk inovatif yang diinginkan pasar