Selasa, 20 November 2012

Pentingnya Role Model dan Mentoring untuk Sukses

Role model dan mentoring bisa membantu anak muda untuk meraih sukses, punya kontribusi, dan memiliki pandangan yang lebih positif.
Banyak anak muda Indonesia yang tak tahu cara meraih mimpi, mencapai sukses, bahkan tidak berani bermimpi. Mereka memilih untuk menjalani saja apa yang ada saat ini. Ketika punya mimpi pun, tak sedikit yang kehilangan arah dalam mewujudkannya.
 
Masalah ini dialami baik kalangan mahasiswa yang bersiap memasuki dunia kerja, maupun first jobber dan yang sudah lama berkarier tapi mandek karena tak tahu apa passion-nya, dan harus berbuat apa untuk meningkatkan kariernya.

Pengusaha berusia 31, penulis buku Young On Top, Billy Boen, mengatakan, kebanyakan anak muda yang tak tahu apa passion-nya. Mereka tak tahu apa yang diinginkan, sehingga terjebak dalam keadaan yang menghambatnya meraih kesuksesan.

"Problemnya di Indonesia kurang role model. Terlalu banyak berita negatif di media massa. Jadi banyak anak muda menjalani apa yang ada sekarang saja, dan tidak punya mimpi. Butuh role model dan dukungan yang memfasilitasi anak muda untuk meraih sukses, untuk diri dan lingkungannya, supaya anak muda punya kontribusi dan memiliki pandangan yang lebih positif," jelas Billy, saat peluncuran program Nivea for Men - Men In Mission di Jakarta, Rabu (10/10/2012).

Sukses bagi Billy adalah apabila seseorang mampu mencapai apa yang diimpikan dari awal. Juga hidup seimbang, antara karier, keluarga harmonis, memiliki teman yang banyak, serta mampu bersenang-senang dan menikmati hidup. Sukses juga bisa bermakna seseorang bisa melakukan perubahan dalam diri sehingga bisa membuat perubahan positif bagi lingkungannya. Kesuksesan ini bisa diraih siapa saja, asal punya passion dan mimpi, serta melakukan aksi nyata menuju kesuksesan itu.

Sayangnya, banyak anak muda tidak tahu apa passion-nya. Tak banyak orang yang bekerja sepenuh hati karena merasa happy. Banyak juga yang tidak tahu arah mengenai apa yang akan dicapainya. Problem lainnya adalah, kurangnya keinginan kuat untuk melakukan perubahan yang mendorong seseorang bekerja untuk berkontribusi, bukan sekadar mematuhi tugas dari perusahaan atau atasan.
"Sukses itu menular ke orang lain. Setiap orang bisa menjadi mentor bagi yang lainnya untuk meraih sukses. Enggak asik kalau sukses sendirian," ungkapnya.

Karenanya penting bagi generasi muda memiliki mentor, role model yang mendukungnya meraih sukses. Selain role model dan mentoring, anak muda juga perlu memupuk kepercayaan diri. Billy mengatakan percaya diri artinya memahami kelebihan dan kekurangan diri. Penampilan pun perlu diperhatikan, bukan dengan melihat merek pakaian tapi lebih kepada menghargai orang lain dengan penampilan yang tepat.

"Ada orang yang sukses tapi tak memedulikan penampilannya. Tapi kita juga bisa memberikan penghargaan terhadap orang lain dengan menjaga penampilan. Penampilan yang tepat memberikan aura berbeda dan membuat kita lebih percaya diri karenanya," jelas Billy.
Kunci sukses lainnya adakah memiliki action plan. Ada gol spesifik dan langkah spesifik yang dilakukan untuk meraih sukses. Semua hal ini bisa diraih dengan berani bermimpi dan menemukan passion. Lagi-lagi, mentoring dan role model menjadi pendorongnya.

Billy mengungkapkan, sistem pendidikan Indonesia tidak menyiapkan mahasiswa tingkat akhir untuk memasuki dunia kerja. Di sinilah mentoring sebenarnya berperan. Dan anak muda Indonesia tak banyak memiliki kesempatan ini.

"Saya belajar di luar negeri dan di tingkat akhir saya belajar cara membuat CV yang baik, cara menghadapi wawancara, dengan begitu kita lebih siap memasuki dunia kerja," tutur pria yang sukses meraih posisi General Manager perusahaan bidang fashion di usia 26, dan menjadi Direktur pada usia 29, hingga akhirnya mendirikan perusahaan sendiri saat ini.

Billy menunjukkan bagaimana dengan passion yang kuat dan mimpi yang besar, didukung role model dari mentoring, seseorang bisa menikmati kesuksesan.
"Sejak kecil saya bercita-cita jadi bos, saya tidak tahu apa artinya. Saya bisa menjadi GM di usia 26 tahun karena mencolong start, menyelesaikan S1 dalam 2 tahun 8 bulan, dan melanjutkan S2. Saya tahu apa yang mau dicapai. Dan attitude juga penting, bagaimana kita menghargai orang lain dan mau belajar," kisahnya.

Billy meraih sukses bermodalkan passion, mimpi, juga aksi nyata, tanpa terlepas dari mentoring yang diyakininya berdampak besar pada diri anak muda.
5 Jurus Pencitraan Diri  Efektif

Bangunlah citra yang positif di dunia maya sama dengan pada kenyataannya dalam dunia kerja.
Sejak social media booming, banyak orang mengandalkan dunia maya sebagai media untuk membangun citra. Apalagi sejak munculnya microblog Twitter. Apa yang mau Anda citrakan di mata follower, maka itulah yang akan Anda tweet. Sah saja Anda melakukan hal itu. Namun, citra yang baik di dunia maya juga mesti dibarengi dengan kesan yang sama di dunia nyata.

Jangan sampai orang lain melihat Anda sebagai sosok berbeda, antara di Twitter dan di dunia nyata. Berikut trik untuk membangun kesan positif agar kesempatan besar datang menghampiri Anda.

1. Menangkan kesan pertama.
Ada yang bilang, don't judge book by it's cover, karena pribadi seseorang tak cukup dinilai dari penampilannya. Tapi, di dunia profesional, pepatah ini tampaknya tak sepenuhnya benar. Di dunia profesional, penampilan adalah hal yang penting. Bagaimana penampilan kita, itulah penilaian orang tentang diri kita. Karena itu, penting menyesuaikan pakaian dengan profesi dan posisi.

Misal, jika Anda seorang PR Manager, pilihlah pakaian yang menunjukkan bahwa Anda memiliki power, berdedikasi, tapi juga bersikap terbuka. Mengenakan blazer dengan warna cerah, misalnya. Begitu pun dengan rambut, usahakan rambut sudah tertata rapi begitu Anda menginjakkan kaki di kantor.

2. Meja kerja cerminan pribadi.
Kalau meja kerja cenderung berantakan, orang akan menilai Anda sebagai pribadi yang tidak terorganisir. Jadi, rapikan meja sesering mungkin. Sebanyak apa pun pekerjaan, usahakan untuk tidak membiarkan dokumen bertebaran di meja. Susun dengan rapi di pojok meja, agar ruang kerja lebih luas dan tidak menyulitkan Anda mencari dokumen yang tercecer. Selain itu, tak perlu menyimpan barang pribadi yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di meja kerja.

Menurut Frances Cole Jones, penulis buku The Wow Factor: The 33 Things You Must (and Must Not) Do to Guarantee Your Edge in Today's Business World, "Sebuah bingkai foto takkan jadi masalah, tapi jangan mendominasi meja kerja dengan barang pribadi lainnya seperti make up."

3. Bicara tegas dan jelas.
Pastikan Anda tahu setiap kata yang akan dibicarakan. Sehingga Anda bisa bicara langsung pada intinya tanpa harus berbelit-belit. Pembicaraan yang terlalu banyak diawali dengan basa-basi akan membuat pendengar merasa bosan dan tak tertarik dengan topik Anda. Selain itu, hindari bicara terbata-bata yang akan membuat Anda terlihat tidak menguasai topik pembicaraan.

Bicaralah dengan lantang dan artikulasi yang jelas. Usahakan tidak menggunakan nada membentak, menghardik, atau meremehkan lawan bicara. Gaya bicara Anda pada orang lain akan menentukan bagaimana orang akan menilai dan menghargai diri Anda.

4. Jadi diri sendiri.
Apakah selama ini semua yang Anda tulis dalam status Facebook atau "kicauan" di Twitter benar-benar sesuai dengan apa yang ada di pikiran Anda? Pernahkan Anda menuliskan suatu opini dan informasi agar orang lain memberikan penilaian tertentu kepada Anda?

Ada baiknya, apa yang Anda tampilkan di dunia maya tak berbeda dengan kepribadian yang sebenarnya. Apalagi, sekarang ini tak sedikit perusahaan  atau klien yang menyimak rekam jejak seseorang di dunia maya. Menciptakan kepribadian ganda di dunia maya dan nyata akan membuat orang lain binging menghadapi Anda dan tentunya ini berdampak buruk pada citra diri Anda.

5. Jangan umbar masalah pribadi.
Tak bisa dipungkiri, social media memang menjadi media yang menyenangkan untuk menuangkan isi hati. Tapi, bukan berarti Anda bebas mengekspos semua masalah yang terjadi dalam hidup Anda. Biasanya, hal-hal yang membuat Anda marah atau kecewa, justru Anda umbar di dunia maya. Mulai pacar yang selingkuh, tagihan kartu kredit membengkak atau ungkapan emosi personal lainnya.

Meskipun bukan artis yang biasanya mendapatkan perhatian, kehidupan di dunia maya tetap menjadi sorotan banyak orang. Begitu pun saat di dunia nyata, hindari membicarakan masalah pribadi di area publik seperti di lift atau toilet, jika tak mau masalah hidup Anda menjadi konsumsi publik. Jangan lupa, pilih teman untuk curhat. Jangan mengeluhkan kehidupan pribadi pada sembarang orang. Semakin sedikit masalah Anda diketahui orang lain, semakin baik citra diri Anda.

Pemimpin Punya Keharusan Meng-Coaching Bawahan

Visi yang bagus, jelas, dan mengacu pada masa depan hanya bisa dicapai melalui "coaching" intensif.
 
 
Pemimpin seperti apa yang Anda kagumi? Kita banyak mengagumi pemimpin karena otaknya yang brilian, keahliannya berstrategi, pengambilan keputusan yang tepat, keberanian mengambil risiko, atau kemampuan membawa perusahaan tumbuh besar. Kita bisa melihat bahwa terkadang kesuksesan tidak berkorelasi dengan sikap pimpinan terhadap bawahannya.
 
 
Steve Jobs, misalnya, melegenda lebih karena kekuatan inovasi, bukan kekuatan hubungannya dengan manusia. Ada bawahan yang bisa betah bertahun-tahun dalam organisasi yang dipimpin atasan yang tidak simpatik, atau bahkan jelas-jelas suka mengadu domba.
Keberhasilan mencetak laba dan melipatgandakan aset perusahaan memang masih menjadi indikator utama kehebatan seorang pimpinan, bahkan dijadikan "model" manajemen yang dianggap ideal.

Sekarang, mari kita bayangkan bila di bawah para pemimpin keren ini ternyata tidak tumbuh calon pemimpin masa depan untuk menggantikannya. Tidakkah kita dengan mudah melihat perusahaan segera akan mengalami krisis dan sulit mempertahankan pertumbuhan usahanya? Dalam situasi ini, masihkah kita menilai para pemimpin ini sebagai pemimpin yang efektif?

Dari tahun ke tahun, banyak survey dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader”. Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai dengan tuntutan jaman. Hasil survey media sosial terkemuka, LinkedIn, mendapatkan hasil bahwa peringkat  tertinggi karakteristik terpenting leader adalah: visi yang ber-impact. Peringkat selanjutnya adalah kekuatan memotivasi dan inspiring, kemampuan mendengar, mengenal anak buah secara individual, dan kekuatan membela timnya.
Kompetensi ini lalu disusul dengan kekuatan pengetahuan teknis dan kemampuan menjaga keseimbangan "life skills". Bila persentase tindakan yang mengacu pada perhatian pada tim dan anak buah atau "coaching" dijumlah, maka aspek-aspek tersebut bernilai sekitar 60 persen dari kekuatan leadership.
Ini berarti bahwa coaching adalah jantungnya leadership. Atau, dengan perkataan lain, visi yang bagus, jelas, dan mengacu pada masa depan hanya bisa dicapai melalui "coaching" intensif.

Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image perusahaan memang hal yang "intangible". Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur "suasana kerja yang menyenangkan". Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba perusahaan?”, “Benarkah sikap kerja produktif betul-betul bisa melipatgandakan produktivitas?”.


Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Perusahaan itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.” Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada. Itu sebabnya pemimpin ataupun organisasi yang berani memutuskan budget signifikan untuk menumbuhkan kepemimpinan, memperkuat leadership, maupun menyuburkan budaya positif di organisasinya bisa kita sebut punya visi masa depan yang jelas dan kuat.

Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang "hidup", di mana pikiran, talenta, dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespon terhadap perubahan yang tak terduga, dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengontrol kekuatan pengambilan keputusan dari "kursi" kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan, dan kemampuan belajar yang tinggi, sehingga apa pun perubahan, perusahaan bisa dengan fleksibel menanggulanginya.
Jadi, peran leader sebagai coach memang bukan lagi bersifat pilihan, tapi sudah bergeser menjadi keharusan. "To be an effective leader, you must be an effective coach.”

Menggeser fokus
Kita bisa melihat guru yang baik menjadi kepala sekolah, salesman top menjadi manajer, programmer komputer yang piawai kemudian menjadi team leader. Padahal tidak ada jaminan bahwa para profesional ini bisa mengakselerasi kinerja. Mereka bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi bisakah menggerakkan orang lain dan timnya?

Kompetensi teknis memang senantiasa menjadi jalan bagi individu untuk menapaki karier ke posisi leader. Namun, saat kita di posisi yang menuntut pengelolaan anak buah, kita perlu segera mengembangkan kemampuan interpersonal kita, seperti berkomunikasi, memberi masukan, mengajak, bersabar, mendengar, berkonfrontasi, dan menanggulangi konflik.
Kita juga belajar menyeimbangkan kekuatan kita dengan faktor-faktor eksternal seperti strategi, prioritas, dan hasil di samping values, sasaran, dan self awareness. Pada saat inilah seseorang perlu melangkah lebih jauh dan mulai mempersiapkan kompetensi coaching-nya.

Pemimpin perlu sadar bahwa ia tidak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image, dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan kekuatan organisasi. Tentu bukan hal yang salah untuk berfokus pada laba perusahaan dan harga saham, namun pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan, dan prestasi setiap individu di bawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya.
Bila seorang pemimpin sudah melepaskan ke-aku-annya, barulah ia siap untuk meng-engage pikiran dan hati anak buah. Pada saat itulah dia perlu mempraktekkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi, jago mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas-tugas progresif timnya, agar biasa menjadi pemenang.





Memimpin pemimpin
Seorang pemimpin yang kuat melakukan coaching menyadari bahwa ia bukan melakukan hal itu sekadar karena hobi atau passion-nya. Kesadaran bahwa ia sedang mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpinlah yang bisa memperkuat power-nya untuk melakukan coaching. Ia harus sadar bahwa individu yang tengah ia bimbing adalah pemain-pemain tangguh yang dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi, penuh turbulensi, chaos, bukan sekadar perubahan normal.

Respons-respons yang dilatih bukan sekadar melihat ke belakang, mengencangkan ikat pinggang saja, tetapi justru kekuatan menghadapi hal-hal eksternal seperti perubahan peraturan, kekuatan pelanggan, dan perkembangan teknologi. Latihan  ketahanan, keberanian untuk menghadapi yang tidak terduga, keberanian untuk “tampil”  perlu dibuatkan lahan latihan.
Seorang coach adalah “culture creator”, bukan “answer provider”. Hanya dengan adanya manusia berkualitas perusahaan bisa mempunyai nilai sustainability tinggi. Dan, membangun manusia hanya bisa dilakukan melalui coaching yang intensif.
Menumbuhkan Budaya "Coaching" di Perusahaan
 

Role model dan mentoring bisa membantu anak muda untuk meraih sukses, punya kontribusi, dan memiliki pandangan yang lebih positif.
Tidak sekali dua kali kita mendengar karyawan, bahkan leaders melihat coaching sebagai kegiatan yang “berjarak”, dianggap pekerjaan tambahan, atau bahkan eksklusif bagi orang tertentu saja di organisasi. Padahal, di sekitar kita, bisa kita saksikan organisasi di mana coaching menjadi bagian sehari-hari dari situasi kerja, sudah membudaya secara progresif.
 
Tengok di restoran fastfood, saat seorang supervisor dengan gigih mengajarkan pada para pramusaji, cara melafalkan menu makanan yang kebetulan berjudul asing. Bukankah hal sederhana ini menggugah hati kita dan menyadarkan pada kita betapa learning dibutuhkan di setiap profesi?
Contoh lain, kita juga kerap berlaku tidak sabar, geregetan, saat dilayani frontliner baru yang didampingi oleh seniornya. Sebagai pelanggan, kita menjadi korban proses belajar sang pemain baru.

 Namun, bisakah kita bayangkan bahwa perusahaan ini sedang melipatgandakan kapasitasnya untuk berkembang, agar bisa melayani pelanggan dengan lebih baik, dan melipatgandakan jumlah cabangnya? Ujung-ujungnya, tidak hanya individu yang menerima pelajaran yang diuntungkan, namun saat ia bertambah pintar, sang coach alias atasan, bisnis, juga pelanggan langsung bisa merasakan manfaat dari individu yang makin capable dan proses kerja yang semakin "canggih". Bukankah "learning organization" seperti ini yang kita idam-idamkan?

Di samping menghitung laba, kita memang perlu secara berkala mengukur sejauh mana coaching membudaya dan mengecek apakah organisasi kita mengarah ke learning organization. Ini penting, karena laba saja tidak bisa dijadikan kapital untuk maju. Dalam perusahaan dengan budaya coaching yang mantap, setiap karyawan selalu ingin berprestasi lebih baik lagi, dan siap menerkam "opportunity" di depan. Atasan-bawahan bisa membicarakan pekerjaan secara santai dengan target meningkatkan kompetensi dan kualitas kerja.

Perusahaan dengan budaya coaching yang kuat menjunjung tinggi nilai-nilai potensi manusia, sehingga pembicaraan korektif di antara atasan dan bawahan untuk memuaskan pelanggan internal dan eksternal, apapun bentuknya, diwarnai respek dan trust yang tinggi. Sebaliknya, coaching sulit tumbuh bila kita banyak melihat atasan atau teman "membuang muka" bila ada rekan kerja berbuat salah.

Kita juga sudah pasti tidak bisa melihat budaya coaching tumbuh, bila setiap ada kesalahan ditemukan terjadi pengkambinghitaman atau pen-cucitangan-an. Semakin coaching tidak dilakukan, kita akan melihat hubungan semakin longgar dan kinerja pun tidak bisa diramalkan. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan lingkaran setan ini? Sudahkah kita menjalankan upaya yang tepat, sehingga hasil belajar yang kita inginkan bisa kita lihat dalam kurun waktu yang terprediksi?

Sasaran coaching = sasaran bisnis
Kita tahu bahwa setiap organisasi perlu mempunyai tujuan yang jelas. Setiap organisasi tentu perlu mengkomunikasikan sasarannya: tahunan, bulanan, kalau perlu mingguan kepada seluruh karyawannya. Sukses unit bisnis, departemen, ataupun perusahaan secara keseluruhan lah yang harus menjadi sasaran coaching. Misalnya, perusahaan ingin menurunkan cost sebesar 10 persen, maka tujuan inilah yang menjadi patokan pengajarannya. Saat organisasi menargetkan untuk mencapai "juara servis", kita pun perlu tahu apa yang diukur, bagaimana mengukurnya, dan apa kriterianya.

Bila perusahaan akan mendapatkan lebih banyak proyek dari kemampuan teknis karyawannya, maka otomatis karyawan akan terdorong belajar bahkan berlomba mengasah dan menguasai ketrampilan demi ketrampilan. Saat sasaran, konten, urgensi, dan benefit jelas, barulah individu belajar untuk mencapai sasaran dan berkontribusi dengan cara yang lebih baik. Dengan tujuan yang clear, baru kita bisa menghidupkan suasana pembelajaran yang baik. Jadi, coaching culture perlu tetap dijadikan inisiatif bisnis, bukan sekadar program pengembangan manusia.

Budaya coaching tidak bisa dipaksakan dengan semata melakukan pelatihan coaching bagi tiap atasan. Ketrampilan coaching tidak akan menjadi amunisi hebat, bila konten dari inisiatif  program coaching tidak dibuat. Jadi, konten harus jelas dulu, selanjutnya barulah para leader ini perlu mengembangkan kepemimpinan yang menggunakan pendekatan coaching dalam persuasi untuk mencapai konten atau sasaran bisnis tersebut.
Coaching adalah "applied leadership", di mana persuasi dilakukan dengan gaya bicara yang cerdas secara emosional, ber-EQ tinggi. Itulah sebabnya, saat Bank Mandiri menerapkan “7 Steps Service Coaching” dalam upaya menjadi juara servis, setiap atasan berlatih untuk mengungkapkan perasaannya, obsesi dan standarnya, sampai menyentuh “rasa”.
Hanya dengan sentuhan rasa, engagement bisa terjadi, dan pada saat itulah feedback baru bisa efektif, tanpa penolakan atau pengelakan, malah menjadi sarana belajar. Pembentukan hubungan “tutor-trainee”dan "coach-coachee”, buddy system, kemudian menjadi struktur kegiatan coaching yang akan menjamin penyebaran dan pencatatan hasil yang dimiliki semua orang.

Motor "coaching": "self belief”
Kita belum bisa mengatakan perusahaan kita berbudaya coaching, bila sesi pembelajaran yang terjadi bersuasana kaku dan menegangkan. Kita pun makin sadar bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan "classroom training" saja. Kita tahu bila pekerjaan sedang padat, maka karyawan yang ada di kelas training hanya memberi separuh fokus, karena separuh fokusnya tertinggal di pekerjaan. Ini berarti pelajaran terbesar tetap adanya "on the job". Atasanlah yang perlu kreatif mengupayakan learning platform yang menarik, misalnya real-play, role-play atau simulasi yang benar-benar berdampak langsung terhadap perubahan perilaku.

Dalam perusahaan yang sudah terlihat budaya "coaching"-nya, kekayaan perusahaan justru terletak pada “self belief” karyawannya. Begitu karyawan sudah mengembangkan self belief, maka ia akan memilih cara belajarnya sendiri, yang akhirnya pasti membawa suasana ingin tahu yang tinggi tetapi bertanggung jawab. Risiko dan kesalahan dianggap sebagai ujian dan studi kasus, yang kalau perlu dibicarakan bersama.

Inilah suasana yang paling empuk untuk memasukkan ilmu dan ketrampilan baru, karena kehausan individu untuk belajar tidak ada habisnya. Bayangkan betapa positifnya suasana dalam organisasi bila setiap karyawan rela bekerja dan berpikir keras karena suasana kerja yang kondusif untuk belajar dan menerima kritik dan masukan. Bila organisasi bisa menyedot tuntas manfaat dari kekuatan, ide-ide, kebijaksanaan, know-how, dan hasil belajar setiap karyawan yang ada, tantangan kompetisi sekuat apapun pasti bisa dihadapi.
Menumbuhkan Budaya "Coaching" di Perusahaan

Role model dan mentoring bisa membantu anak muda untuk meraih sukses, punya kontribusi, dan memiliki pandangan yang lebih positif.
 
 
Tidak sekali dua kali kita mendengar karyawan, bahkan leaders melihat coaching sebagai kegiatan yang “berjarak”, dianggap pekerjaan tambahan, atau bahkan eksklusif bagi orang tertentu saja di organisasi. Padahal, di sekitar kita, bisa kita saksikan organisasi di mana coaching menjadi bagian sehari-hari dari situasi kerja, sudah membudaya secara progresif.
 
Tengok di restoran fastfood, saat seorang supervisor dengan gigih mengajarkan pada para pramusaji, cara melafalkan menu makanan yang kebetulan berjudul asing. Bukankah hal sederhana ini menggugah hati kita dan menyadarkan pada kita betapa learning dibutuhkan di setiap profesi?
Contoh lain, kita juga kerap berlaku tidak sabar, geregetan, saat dilayani frontliner baru yang didampingi oleh seniornya.

Sebagai pelanggan, kita menjadi korban proses belajar sang pemain baru. Namun, bisakah kita bayangkan bahwa perusahaan ini sedang melipatgandakan kapasitasnya untuk berkembang, agar bisa melayani pelanggan dengan lebih baik, dan melipatgandakan jumlah cabangnya? Ujung-ujungnya, tidak hanya individu yang menerima pelajaran yang diuntungkan, namun saat ia bertambah pintar, sang coach alias atasan, bisnis, juga pelanggan langsung bisa merasakan manfaat dari individu yang makin capable dan proses kerja yang semakin "canggih". Bukankah "learning organization" seperti ini yang kita idam-idamkan?

Di samping menghitung laba, kita memang perlu secara berkala mengukur sejauh mana coaching membudaya dan mengecek apakah organisasi kita mengarah ke learning organization. Ini penting, karena laba saja tidak bisa dijadikan kapital untuk maju. Dalam perusahaan dengan budaya coaching yang mantap, setiap karyawan selalu ingin berprestasi lebih baik lagi, dan siap menerkam "opportunity" di depan. Atasan-bawahan bisa membicarakan pekerjaan secara santai dengan target meningkatkan kompetensi dan kualitas kerja.

Perusahaan dengan budaya coaching yang kuat menjunjung tinggi nilai-nilai potensi manusia, sehingga pembicaraan korektif di antara atasan dan bawahan untuk memuaskan pelanggan internal dan eksternal, apapun bentuknya, diwarnai respek dan trust yang tinggi. Sebaliknya, coaching sulit tumbuh bila kita banyak melihat atasan atau teman "membuang muka" bila ada rekan kerja berbuat salah.

Kita juga sudah pasti tidak bisa melihat budaya coaching tumbuh, bila setiap ada kesalahan ditemukan terjadi pengkambinghitaman atau pen-cucitangan-an. Semakin coaching tidak dilakukan, kita akan melihat hubungan semakin longgar dan kinerja pun tidak bisa diramalkan. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan lingkaran setan ini? Sudahkah kita menjalankan upaya yang tepat, sehingga hasil belajar yang kita inginkan bisa kita lihat dalam kurun waktu yang terprediksi?

Sasaran coaching = sasaran bisnis
Kita tahu bahwa setiap organisasi perlu mempunyai tujuan yang jelas. Setiap organisasi tentu perlu mengkomunikasikan sasarannya: tahunan, bulanan, kalau perlu mingguan kepada seluruh karyawannya. Sukses unit bisnis, departemen, ataupun perusahaan secara keseluruhan lah yang harus menjadi sasaran coaching. Misalnya, perusahaan ingin menurunkan cost sebesar 10 persen, maka tujuan inilah yang menjadi patokan pengajarannya. Saat organisasi menargetkan untuk mencapai "juara servis", kita pun perlu tahu apa yang diukur, bagaimana mengukurnya, dan apa kriterianya.
Bila perusahaan akan mendapatkan lebih banyak proyek dari kemampuan teknis karyawannya, maka otomatis karyawan akan terdorong belajar bahkan berlomba mengasah dan menguasai ketrampilan demi ketrampilan. Saat sasaran, konten, urgensi, dan benefit jelas, barulah individu belajar untuk mencapai sasaran dan berkontribusi dengan cara yang lebih baik. Dengan tujuan yang clear, baru kita bisa menghidupkan suasana pembelajaran yang baik. Jadi, coaching culture perlu tetap dijadikan inisiatif bisnis, bukan sekadar program pengembangan manusia.

Budaya coaching tidak bisa dipaksakan dengan semata melakukan pelatihan coaching bagi tiap atasan. Ketrampilan coaching tidak akan menjadi amunisi hebat, bila konten dari inisiatif  program coaching tidak dibuat. Jadi, konten harus jelas dulu, selanjutnya barulah para leader ini perlu mengembangkan kepemimpinan yang menggunakan pendekatan coaching dalam persuasi untuk mencapai konten atau sasaran bisnis tersebut.
Coaching adalah "applied leadership", di mana persuasi dilakukan dengan gaya bicara yang cerdas secara emosional, ber-EQ tinggi. Itulah sebabnya, saat Bank Mandiri menerapkan “7 Steps Service Coaching” dalam upaya menjadi juara servis, setiap atasan berlatih untuk mengungkapkan perasaannya, obsesi dan standarnya, sampai menyentuh “rasa”.
Hanya dengan sentuhan rasa, engagement bisa terjadi, dan pada saat itulah feedback baru bisa efektif, tanpa penolakan atau pengelakan, malah menjadi sarana belajar. Pembentukan hubungan “tutor-trainee”dan "coach-coachee”, buddy system, kemudian menjadi struktur kegiatan coaching yang akan menjamin penyebaran dan pencatatan hasil yang dimiliki semua orang.

Motor "coaching": "self belief”
Kita belum bisa mengatakan perusahaan kita berbudaya coaching, bila sesi pembelajaran yang terjadi bersuasana kaku dan menegangkan. Kita pun makin sadar bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan "classroom training" saja. Kita tahu bila pekerjaan sedang padat, maka karyawan yang ada di kelas training hanya memberi separuh fokus, karena separuh fokusnya tertinggal di pekerjaan. Ini berarti pelajaran terbesar tetap adanya "on the job". Atasanlah yang perlu kreatif mengupayakan learning platform yang menarik, misalnya real-play, role-play atau simulasi yang benar-benar berdampak langsung terhadap perubahan perilaku.

Dalam perusahaan yang sudah terlihat budaya "coaching"-nya, kekayaan perusahaan justru terletak pada “self belief” karyawannya. Begitu karyawan sudah mengembangkan self belief, maka ia akan memilih cara belajarnya sendiri, yang akhirnya pasti membawa suasana ingin tahu yang tinggi tetapi bertanggung jawab. Risiko dan kesalahan dianggap sebagai ujian dan studi kasus, yang kalau perlu dibicarakan bersama.

Inilah suasana yang paling empuk untuk memasukkan ilmu dan ketrampilan baru, karena kehausan individu untuk belajar tidak ada habisnya. Bayangkan betapa positifnya suasana dalam organisasi bila setiap karyawan rela bekerja dan berpikir keras karena suasana kerja yang kondusif untuk belajar dan menerima kritik dan masukan. Bila organisasi bisa menyedot tuntas manfaat dari kekuatan, ide-ide, kebijaksanaan, know-how, dan hasil belajar setiap karyawan yang ada, tantangan kompetisi sekuat apapun pasti bisa dihadapi.
5 Cara Menjadi Negosiator Andal

Setiap orang bisa menjadi negosiator andal, asal mau berlatih.
Untuk mencapai deal, ada dua hal pokok yang perrlu diketahui, yaitu bahasa tubuh dan bahasa lisan. Negosiator andal adalah orang yang memenangkan negosiasi dan meninggalkan lawan dengan perasaan senang karena dia juga merasa senang. Berikut lima cara melatih kemampuan negosiasi:

1. Berstrategi.Seperti perang, dalam negosiasi Anda juga perlu punya banyak strategi dan taktik. Adanya strategi akan membantu Anda melakukan pendekatan terbaik unuk mencapai tujuan. Sedangkan taktik, adalah langkah-langkah teknis untuk mendukung strategi. Tanpa keduanya, negosiasi akan berjalan lambat dan tanpa arah yang jelas. Istilahnya yang terjadi hanya debat kusir tak berujung. Apa strategi yang perlu dimiliki setiap negosiator? Kemampuan berpikir kreatif dan cepat. Pemikiran ini nantinya akan menghasilkan sejumlah alternatif yang dapat diterima. Negosiator sukses adalah mereka yang memiliki strategi baik sehingga bisa mengubah pilihan-pilihan mereka menjadi kenyataan

2. Jangan gampang emosi.

Salah satu kunci keberhasilan orang yang jago nego adalah dia mampu mengendalikan emosi. Tidak mudah marah atau meledak ketika negosiasi berlangsung alot. Atau mendadak bete ketika berhadapan dengan lawan bicara yang tidak kooperatif. Ketika bernegosiasi kecerdasan emosional Anda diuji, bagaimana memengaruhi orang lain dalam kondisi apa pun. Selain itu, pengelolaan diri yang baik juga memudahkan Anda untuk mengenali setiap sisi positif dan lawan bicara. Perlu digarisbawahi, negosiasi tidak bisa lepas dari komunikasi. Tak mungkin Anda melakukan proses tawar menawar hanya dengan menggunakan bahasa tubuh. Kuasai keterampilan komunikasi dan Anda sudah memenangkan setidaknya 50 persen dari negosiasi.

3. Tanpa debat.

Menyelesaikan proses negosiasi dengan berdebat hanya akan menunjukkan pada orang lain bahwa Anda bukanlah seorang negosiator yang baik. Membantah jika memang harus, tapi jangan pernah lupa bahwa berdebat tidak pernah menjadi penyelesaian yang tepat dalam bernegosiasi. Bahkan, seorang negosiator yang baik akan menunjukkan sikap seolah-olah tak peduli terhadap siapa yang memperoleh kemenangan atas kesepakatan yang berhasil dibuat. Ia pandai membuat pihak lain merasa seolah-olah persetujuan akhir tersebut merupakan idenya.

4. Menyimak lawan bicara.

Bagaimana rasanya bila saat Anda bicara, lawan bicara malah sibuk sendiri atau melamun? Yang ada malah "emosi jiwa" dan kecewa karena merasa "dicuekin". Begitu juga dengan lawan bicara Anda. Bagaimana negosiasi bisa berhasil, bila Anda tidak menyimak setiap kata yang diucapkan lawan bicara? Hanya tubuh Anda yang ada di sana, namun pikirran melayang ke mana-mana, memikirkan pekerjaan yang belum kelar, pacar yang ngambek. Atau Anda terlalu sibuk memikirkan apa yang ingin Anda katakan selanjutnya.

Untuk memudahkan Anda menyimak pembicaraan lawan bicara, perhatikan ketiga hal berikut:

* Jika mereka berbicara tentang analisis, berarti mereka sedang menyampaikan apa yang dipikirkannya.

* Jika mereka berbicara dengan nada bertanya atau menyelidik, ini berarti ada kekhawatiran yang mereka pikirkan. Inilah saat yang tepat untuk memberi penjelasan dan meyakinkan lawan bicara.

* Biasanya mereka juga akan menyampaikan apa yang menjadi harapannya. Ini adalah ekspektasi mereka terhadap hasil negosiasi.

5. Jangan malu bertanya.

Dalam negosiasi bertanya tidak dilarang, malah sangat dianjurkan. Mengapa, karena bertanya adalah seni yang bisa membuat lawan bicara melihat kemampuan Anda mengelola proses negosiasi. Untuk bisa bertanya tentu saja Anda perlu saling menyimak apa yang disampaikan masing-masing pihak. Adanya pertanyaan akan membuat proses negosiasi lebih hidup dan tak menutup kemungkinan menghasilkan pemikiran dan ide-ide baru. Apalagi negosiasi, sebenarnya bukan sekadar situasi tawar-menawar, melainkan sebuah proses menyatukan alur pemikiran di mana setiap pihak punya kedudukan sama penting.