Jumat, 26 Oktober 2012


Contact  Center 

Sebagai Institution Relationship





 

www.marketing.co.id - “If you were going to die soon and had only one phone call you could make, who would you call and what would you say?  And why are you waiting?” (Stephen Levine).

Quote ini sangat ekstrem, namun beginilah yang terjadi bila seseorang sedang panik karena mengalami suatu problem yang harus diatasi segera. Pelanggan pun demikian, bila berada dalam keadaan terdesak, mereka akan berusaha untuk mengingat siapa yang bisa dihubungi. Inilah positioning image yang harus dimiliki oleh sebuah contact center yang ingin selalu terdepan.

Banyak perusahaan yang menganggap contact center adalah cost center, sehingga untuk mendirikan sebuah contact center seorang pengusaha harus berpikir beberapa kali. Namun kemudian, diketahui bahwa ternyata melalui contact center bisa juga sebuah perusahaan memperoleh laba (profit) dengan menawarkan produk perusahaan melalui telepon (telemarketing).


Beberapa ahli layanan dan pakar marketing akhirnya menyebut contact center bukan lagi sebagai cost center, tapi berubah menjadi profit center.
Telemarketing tidak akan berhasil bila hanya dilandasi dengan keahlian menjual petugasnya, namun banyak juga pelanggan—khususnya di Indonesia—memiliki kecenderungan untuk memutuskan membeli setelah merasakan baiknya layanan penjual. Bahkan beberapa pembeli berani menyatakan bahwa, “Saya membeli bukan karena produknya, melainkan senang dengan cara telemarketer melakukan pendekatan kepada saya.” Namun, setelah pelanggan membeli produk melalui telemarketing, bagaimana jaminan dan layanan purnajualnya? Apakah petugas telemarketer juga mengelolanya? Tentu saja ini bukan lagi menjadi tanggung jawab telemarketer. Akhirnya, pelanggan menjadi kecewa.

Layanan purnajual (after sales service) sangat penting untuk mengelola kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan merupakan orientasi yang sangat penting bagi kelangsungan produk perusahaan. Dari kepuasan yang terbentuk akan timbul suatu loyalitas yang tinggi terhadap produk.
Untuk mengenal dengan baik faktor-faktor yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, perusahaan harus memiliki sebuah jaringan hubungan yang baik dengan pelanggan. Peranan untuk melakukan hubungan baik dengan pelanggan bisa dilakukan melalui contact center sebagai institution relationship. Pelanggan dapat memperoleh informasi, memberikan saran, dan juga menyampaikan keluhan mengenai suatu produk perusahaan.

Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, Konsultan Strategi Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, dalam sebuah seminar pernah membahas masalah ini. Rata-rata penanganan pelanggan oleh seorang customer service officer (CSO) di contact center besar mencapai 2–3 menit. Jadi, terasa aneh jika perusahaan dapat membangun hubungan baik atau relationshipdengan pelanggan hanya dengan 2–3 menit.

Ini merupakan tantangan besar bagi perusahaan. Namun, lain halnya dari sisi pelanggan. Contact center yang mudah diakses layaknya teman, partner, dan tempat yang paling praktis dan efisien untuk berhubungan, layaknya kita berhubungan dengan tetangga dekat. Hubungan tersebut menambah keyakinan untuk menciptakan contact center sebagai institution relationship
 




Contact center adalah ”teman” pelanggan di saat pelanggan menemui kesulitan ataupun bila pelanggan ingin mengeluhkan produk perusahaan. Bahkan, pelanggan bisa juga bercerita mengenai produk pesaing, sehingga perusahaan kita bisa cepat melakukan improvement.

Seperti pepatah mengatakan, ”Pelanggan yang complaint adalah pelanggan yang baik.” Pepatah tersebut benar karena pelanggan mengeluhkan suatu produk biasanya adalah karena pelanggan ingin terus menggunakan produk tersebut. Pelanggan seperti itu sering disebut ”Queen Bee” (RatuLebah), yang bisa diartikan pelanggan yang selalu menginginkan kesempurnaan produk suatu perusahaan dan apabila pelanggan tersebut puas, mereka tidak akan segan menyampaikannya kepada teman-temannya.


Pelanggan Queen Bee bukan saja loyal terhadap perusahaan. Pelanggan tersebut juga akan menjadi marketing gratis untuk perusahaan. Contact center akan menjadi teman ”curhat” (curahan hati) untuk pelanggan Queen Bee. Contact center institution relationship harus selalu memiliki nilai untuk pelanggan. Bukan hanya relationship dengan pelanggan, tapi juga harus memiliki relationship yang baik dengan masyarakat. Kehadiran contact center akan menjadi nilai yang sangat penting untuk masyarakat luas.


Seperti pernah dikatakan oleh Nathalya Wani Sabu, Head of Halo BCA, contact center harus memiliki nilai yang sangat kuat untuk masyarakat, bahkan contact center juga harus memiliki nilai dalam dunia sosial. Ibu Wani memiliki cita-cita ingin memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak sempurna secara fisik namun memiliki prestasi yang membanggakan, untuk bekerja di contact center. ”Tidak ada kata cacat fisik, mereka hanya tidak sempurna dalam fisik, namun tidak cacat hati,” begitu ungkapnya. Ini adalah visi dan terobosan yang sangat luar biasa. Dengan demikian, relationship bukanlah hanya sebagai usaha yang harus ditempuh, tapi merupakan hal yang dapat terwujud dengan sendirinya


Sumber : http://www.marketing.co.id/blog/2012/10/03/contact-center-sebagai-institution-relationship-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar