Kamis, 14 November 2013

Manager ; INOVASI ; Bila Inovasi Bukan Sekadar Produk Baru


Ada pendapat bahwa inovasi adalah jantung bagi perusahaan. Kalau perusahaan berhenti berinovasi, perusahaan itu diprediksi bakal mati. Inovasi yang kontinu menunjukkan perusahaan itu dinamis, tanggap pada perubahan zaman, dan senantiasa menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat kontemporer yang senantiasa berubah.

Tapi, ada pandangan salah kaprah yang menyempitkan inovasi dengan munculnya produk-produk baru. Banyak perusahaan hanya memfokuskan diri pada inovasi produk. Padahal, inovasi juga bisa dilakukan di area lain, selain produk.

Vijay Govindarajan, profesor International Business di Tuck School of Business di Dartmouth dan kolumnis Harvard Business Review, dalam tulisannya menegaskan bahwa inovasi bukanlah sesempit inovasi produk. Govindarajan memberi contoh Mircrosoft. Pada tahun 2010, misalnya, Mircrosoft sebagai salah satu perusahaan terinovatif dalam hal produk selama dua dekade terakhir ini, meluncurkan sebuah telepon sosial yang dinamakan dengan Kin. Tapi, inovasi produk ini terasa sebagai bencana bagi Mircosoft. Selama enam minggu sejak peluncuran, grup produk seluruhnya ditutup.

Govindarajan menilai sebagian besar organisasi berfokus pada pembangunan jangka pendek dengan inovasi produknya. Sementara, sebagian besar produk memiliki keunggulan kompetitif yang sedikit dan tidak pernah menghasilkan keuntungan. Banyak perusahaan inovasi produknya justru sering terlalu cepat ditiru dalam kompetisi dan hal ini meniadakan keuntungan di jangka panjang.  Hasilnya, sambung Govindarajan,  investasi besar dalam pengembangan produk tidak sebanding dengan pengembalian dalam bentuk keuntungan.

Sebab itu, Govindarajan menegaskan inovasi produk saja tidak cukup. Untuk meraih pertumbuhan yang berkelanjutan, perusahaan harus bisa mengintegrasikan secara lebih baik inovasi produk dengan model bisnis, proses, dan inovasi servis.

Transformasi perusahaan di atas membutuhkan proses khusus untuk memelihara dan menjual ide-ide yang berharga. Tipe komitmen berinovasi ini memerlukan cara pandang dualistik, yakni kemampuan perusahaan memberikan hasil jangka pendek dan menyiapkan strategi keberlanjutan jangka panjang.

Halangan dan Risiko
Berdasarkan karya Govindarajan dalam Global 2000, ada lima halangan bagi perusahaan dalam mencapai cara pandang dualistik tersebut.  Pertama, tidak adanya pola pikir untuk menangkap dan mengelola ide-ide besar. Sony memiliki ide dan kompetensi untuk membangun produk setara iPod. Tapi, ini tak tereksekusi dengan baik karena ada konflik internal.

Kedua, kurangnya efektifnya penempatan sumberdaya yang tersedia untuk investasi dalam inovasi. Banyak organisasi bersaing dengan dana yang sama dan banyaknya sumber daya. Tapi, proses bisnis  menjadi tidak efisien dan boros karena tidak tepatnya menempatkan sumber-sumber daya itu pada saluran yang efektif.

Ketiga, aset modal manusia yang kurang dimanfaatkan secara optimal dan kreatif. Ketika perusahaan menjadi besar, jamak terjadi proses yang lamban, khususnya dalam menangkap perubahan. Hal ini menyebabkan kurangnya rasa kemendesakan (sense of urgency) dalam perusahaan tersebut. Hal ini juga memengaruhi semangat inovasi untuk menjajal hal-hal baru.

Keempat, tidak fokusnya jalur pengantaran produk pada pasar yang potensial. 

Kelima, ortodoksi organisasi yang berpegang kuat pada masa lalu dan keraguan dalam pengambilan risiko di masa kini. Banyak perusahaan terjebak pada “glorifyng the past” alias memuja keberhasilannya di masa, Tapi, ketika zaman berubah, perusahaan itu justru kesulitan untuk melakukan inovasi untuk hal-hal baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar