Setiap
hari, terdapat jutaan pelanggan atau konsumen di pasar Indonesia yang
disebut sebagai “first time buyer”. Mereka adalah konsumen atau
pelanggan yang baru bagi suatu perusahaan karena baru pertama kali
membeli suatu produk atau jasa yang mereka produksi selama ini. Bisa
juga, mereka adalah pelanggan baru dari sebuah toko atau
outlet walaupun mereka bukan pelanggan baru untuk produk yang mereka beli.
First time buyer ini, tentu saja merupakan nadi yang penting
bagi perusahaan untuk tumbuh. Apalagi bila penetrasi suatu produk atau
jasa masih kecil dan pasar masih memiliki konsumen atau pelanggan yang
belum pernah mencoba produk tersebut. Tidak jarang, pertumbuhan suatu
produk, sebagian besar tergantung dari para pembeli pertama ini.
Kadang-kadang,
first time buyer disebut dengan “trialist”
karena perusahaan sadar bahwa sebagian besar dari motif mereka membeli
atau menggunakan produk tersebut adalah sekadar untuk mencoba.
Mereka sering disebut dengan “first time buyer” dan bukan “first time customer” karena proses pembeliannya adalah
transactional dan bukan berdasarkan
relationship.
Mereka belum menjadi pelanggan, tetapi masih disebut pembeli. Kepuasan
mereka belum terbentuk karena memang belum merasakan dan loyalitas
mereka belumlah teruji.
Ketika pasar sudah mulai jenuh karena tingkat penetrasi semakin
tinggi dan ditambah dengan jumlah pesaing yang semakin banyak, tak ayal
lagi, perusahaan akan dihadapkan pada situasi di mana harus mengubah
“first time buyer”
ini
menjadi “repeat customer”. Bila tidak, mereka akan dihadapkan kepada
biaya akuisisi yang semakin tinggi dan akhirnya—pada titik tertentu—daya
saingnya semakin melemah dibandingkan dengan perusahaan yang sudah
memiliki pelanggan loyal.
Berbagai industri di Indonesia, sudah mengalami tantangan ini. Mereka
harus benar-benar mengubah pembeli pertama ini menjadi pembeli atau
pengguna yang loyal. Pasar seluler adalah contoh nyata. Kemampuan para
pemain dalam industri ini untuk mendapatkan
first time buyer
masih sangat tinggi. Telkomsel misalnya, yang pada akhir April 2005
silam sudah mendapatkan total pelanggan 18,5 juta, masih saja setiap
hari mampu menarik puluhan ribu pembeli baru. Kartu As-nya yang baru
diluncurkan selama 11 bulan, bisa menyedot hampir 5 juta
first time buyer.
Pemain yang lain seperti Mentari, IM3, Pro-X atau Telkom Flexi, juga menikmati pertumbuhan dari para
first time buyer ini. Apalagi, dengan harga perdana yang lebih murah dari harga isi ulang pulsanya, magnit untuk menjadi
first time buyer
ini jelas semakin besar. Mereka membeli kartu perdana dengan Rp25.000,
tetapi mendapatkan pulsa seharga Rp35.000. Akibatnya, daripada isi
ulang, mereka yang tidak peduli dengan nomer telepon atau bersedia untuk
berganti-ganti nomor, memilih untuk beli katu perdana lagi bila
pulsanya sudah habis. Dengan kata lain, tingkat kebocoran akibat
perusahaan tidak mampu memindahkan
first time buyer menjadi
repeat customer ini, sangatlah besar.
Dalam industri perbankan, akuisisi yang cepat terjadi untuk pelanggan
e-banking. Beberapa bank berlomba-lomba mendapat pelanggan baru untuk produk-produk mereka seperti
internet banking, SMS atau
call banking. Terutama untuk
SMS banking, dengan total potensi pelanggan yang bisa mencapai 10 juta di 5 tahun mendatang, maka proses untuk mencari
first time buyer
ini haruslah semakin agresif. Dalam beberapa tahun kemudian,
permasalahan untuk mengubah mereka menjadi “repeat customer” akan segera
muncul. Sekarang saja, dari mereka yang menjadi
subscriber untuk layanan
e-banking ini, hanya sekitar 10-20% saja yang aktif menggunakan.
Lalu, apa kiat-kiat untuk mengubah
first timer buyer ini
agar membeli atau menggunakan produk yang mereka beli pertama kali? Pada
prinsipnya, sebagian sama dengan kiat-kiat untuk menjadikan pelanggan
loyal. Hanya saja, penekanannya sedikit berbeda. Pembentukan loyalitas
adalah proses dengan perspektif yang lebih panjang. Loyalitas juga lebih
mengandalkan pembentukan “switching barrier”, yaitu pelanggan mempunyai
persepsi bahwa biaya dan resiko yang harus dia tanggung sangatlah besar
bila meninggalkan perusahaan atau beralih ke merek lain. Loyalitas juga
menekankan kepada aspek
cross-selling, sedangkan mengubah
first time buyer menjadi
repeat customer
ini lebih menekankan agar mereka melakukan pembelian kedua dan ketiga.
Jadi, perspektif waktunya lebih moderat dan biaya investasinya lebih
kecil dibandingkan dengan upaya-upaya untuk membentuk loyalitas.
Walaupun demikian, mengubah
first time buyer menjadi
repeat customer
sebenarnya juga merupakan suatu proses pembentukan loyalitas pada tahap
dini. Jadi, bila loyalitas adalah suatu proses terintegrasi, maka upaya
untuk menjadikan
first time buyer menjadi
repeat customer ini adalah bagian dari proses pembentukan loyalitas dalam jangka panjang.
Dari First Time Menjadi Repeat
Berikut ini adalah beberapa tip bagaimana perusahaan-perusahaan telah sukses mengubah
first time buyer menjadi
repeat customer.
Tentunya, setiap tip tidak berlaku untuk semua industri. Setiap
industri memiliki pelanggan dengan karakteristik dan harapan yang
berbeda, demikian pula, berbeda dalam struktur persaingannya.
Pertama, dengan mengucapkan terima kasih. Ini adalah
komunikasi sederhana yang sering dilupakan oleh banyak perusahaan.
Segera setelah pelanggan membeli, perusahaan dapat memberikan ucapan
terima kasih. Ini bisa dilakukan satu hari setelah pembelian ataupun
satu minggu setelah transaksi. Pada saat mereka menjadi
first time buyer,
sangat mungkin, mereka mencoba karena diberikan iming-iming hadiah atau
harga yang spesial. Jadi, pada saat itu, mereka sungguh tertarik dengan
kata-kata seperti “discount” atau “free”. Tetapi setelah pembelian
pertama, mereka mengharapkan ucapan terima kasih.
Industri perbankan, telekomunikasi, ritel atau industri jasa pada umumnya, dengan mudah melakukan hal ini. Industri seperti
consumer goods
yang memiliki jutaan konsumen, sangatlah sulit menerapkan program
seperti ini. Yang dapat dilakukan adalah dengan mencantumkan terima
kasih di labelnya. Bisa juga melalui komunikasi di media massa, tetapi
haruslah dipertimbangkan efektivitasnya.
Kedua, ucapan terima kasih ini bisa digabungkan dengan upaya untuk mencari
feedback
dari pelanggan atau konsumen. Perusahaan bisa menanyakan kepada
pelanggannya apakah mereka punya problem dan sudah puas dengan produk
atau jasa yang mereka beli. Hal ini juga sekaligus menjadi semacam
dorongan kepada mereka untuk menggunakan produk atau jasa secepatnya,
seandainya ternyata produk yang dibeli belum digunakan. Dengan
menciptakan kepuasan di awal, sudah tentu merupakan modal yang besar
untuk dapat menciptakan
repeat customer.
Ketiga, terus mengkomunikasikan “value” yang perusahaan dapat berikan. Bisa terjadi, bahwa
first time buyer tidak mengetahui seluruh
value
yang perusahaan dapat berikan. Seorang pelanggan yang baru saja
menginap di suatu hotel, belum tentu dia mengetahui fasilitas apa saja
yang disediakan hotel setelah satu malam menginap. Oleh karena itu,
pemberian informasi kepada mereka mengenai
value lain yang dapat diberikan, sangatlah penting.
Seorang nasabah yang baru saja menjadi pemakai
SMS banking,
belum tentu mengetahui lebih dari 50% dari semua benefit yang mereka
dapatkan. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi perusahaan untuk terus
mengkomunikasikan fitur-fitur lain atau benefit yang dapat mereka
peroleh dengan terus menggunakan produk ini. Apalagi, bila pembelian
dilakukan secara
impulse atau keputusan saat membeli sekedar
mencoba dan hanya dengan informasi terbatas, sangatlah mungkin bahwa
sekitar 50% hingga 90% dari
first time customer ini tidak akan menjadi pembeli lagi.
Keempat, perusahaan dapat menciptakan berbagai
program garansi. Ini penting untuk memberikan keyakinan kepada mereka
untuk pembelian yang akan datang. Garansi, sebisa mungkin harus
unconditional,
mudah dimengerti dan mudah dieksekusi oleh pelanggan. Program garansi
ini mengurangi persepsi risiko yang mungkin dihadapi oleh pelanggan.
Kelima, berupaya untuk terus mengedukasi penggunaan produk atau jasa. Sangat besar kemungkinan
first time buyer
untuk tidak membeli lagi karena mereka tidak bisa menggunakan produk
secara optimal. Perusahaan yang menjual alat elektronik misalnya, bisa
menawarkan jasa untuk memberikan training kepada mereka untuk
menggunakan produk dengan baik sehingga memberikan manfaat maksimal.
Apalagi, untuk produk-produk yang berbau teknologi tinggi, proses
edukasi kepada
first time buyer ini sungguhlah sangat penting.
Ini akan menciptakan kepuasan mereka dalam menggunakan. Selain mereka
merasakan manfaat yang lebih maksimal, mereka juga akan merasa lebih
nyaman.
Keenam, kepada mereka dapat ditawarkan berbagai
program “reward” sejak pertama kali. Ini akan mendorong mereka untuk
terus mengumpulkan
reward setiap saat menjadi
repeat customer.
Reward ini tentunya harus didesain dengan cara yang menarik dan
benar-benar dapat memotivasi mereka untuk terus menggunakan. Pointr
Reward adalah salah satu aplikasi program
reward yang cukup luas digunakan oleh berbagai perusahaan.
Ketujuh, akan sangat baik bila perusahaan mulai menyusun
database dari para
first time buyer ini
dan kemudian menggunakan untuk berbagai program di kemudian hari.
Produk kartu prabayar adalah contoh industri yang benar-benar sulit
memanfaatkan
database. Mereka yang membeli kartu perdana, tidak
dikenal namanya oleh perusahaan. Inilah yang mengakibatkan kesulitan
para pemain seluler untuk membuat
first time buyer ini menjadi
repeat customer.
Perusahaan relatif sulit untuk berinteraksi secara efektif. Mereka bisa
dijangkau dengan SMS, tetapi karena tidak mengenal mereka dengan baik,
sungguhlah sulit untuk berkomunikasi secara efektif.