ANALISIS BIAYA DI RUMAH SAKIT
Sebagai organisasi publik, rumah sakit diharapkan mampu memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Namun disatu sisi Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai unit organisasi milik pemerintah daerah
dihadapkan pada masalah pembiayaan dalam arti alokasi anggaran yang tidak
memadai sedang penerimaan masih rendah dan tidak boleh digunakan secara
langsung. Kondisi ini akan memberikan dampak yang serius bagi pelayanan
kesehatan di rumah sakit karena sebagai organisasi yang beroperasi setiap hari,
likuiditas keuangan merupakan hal utama dan dibutuhkan untuk menjalankan
kegiatan operasional sehari-hari.Berbagai permasalahan-permasalahan tersebut di
atas merupakan tantangan bagi pengelola rumah sakit pemerintah untuk melakukan
terobosan-terobosan dalam menggali sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan biaya operasional dan pengembangan rumah sakit.
Terobosan itu dapat dilakukan antara lain dengan
mengoptimalkan penerimaan dari unit-unit pelayanan medis dan penunjang medis
melalui penentuan tarif berdasarkan perhitungan biaya satuan ( unit cost
).Tarif merupakan suatu sistem atau model pembiayaan yang paling utama dalam
pembiayaan rumah sakit. Pola tarif rumah sakit di Indonesia umumnya masih
sangat lemah terutama rumah sakit pemerintah. Tarif yang diberlakukan belum unit
cost based dan tanpa pertimbangan yang cermat terhadap berbagai dimensi
yang mempengaruhi tarif, bahkan rumah sakit pemerintah belum ada penyesuaian
tarif selama bertahun-tahun meskipun telah terjadi inflasi pelayanan kesehatan
( obat, bahan habis pakai, dll).Selama ini penetapan tarif rawat inap rumah
sakit berdasarkan Kepmenkes, No 582/1997 yang menjadikan perawatan kelas II
sebagai setara unit cost (UC) terhitung dengan metode double
distribusi, maka dapatlah diketahui besarnya tarif Kelas III (1/3 kali UC
Kelas II), kisaran tarif Kelas I (2-9 Kali UC Kelas II) dan VIP/Super VIP
(10-20 kali UC Kelas II). (Razak A. 2004). Dengan adanya jaminan
pemerintah pada pelayanan rawat inap kelas III yang diasumsi sesuai dengan Unit
cost , maka rumah sakit memerlukan penataan kembali pola tarif rawat inap
yang ada dengan menjadikan kelas III setara dengan unit cost terhitung
dengan metode double distribusi dan untuk kelas II, Kelas I, dan VIP dijadikan
kelas profit rumah sakit sesuai dengan kebutuhan rumah sakit.
A. Konsep Biaya
Biaya (cost) adalah nilai sejumlah input (faktor
produksi) yang dipakai untuk menghasilkan suatu produk (output). Biaya
juga sering diartikan sebagai nilai suatu pengorbanan/pengeluaran untuk
memperoleh suatu harapah (target)/output tertentu
B. Pembagian biaya berdasarkan hubungan
dengan volume produksi
1) Biaya tetap ( fixed cost ) adalah biaya yang
tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi/jasa dan waktu pengeluarannya, biasanya
lebih dari satu tahun.
2) Biaya variabel (variable cost) adalah biaya
yang jumlahnya tergantung dari jumlah produksi / jasa. Biaya tidak tetap
biasanya berupa biaya oprasional yang habis dikeluarkan selama satu tahun.
3) Semi Variabel Cost adalah biaya yang memiliki sifat
antara fixed cost dan variabel cost (Gani,1996)
C. Biaya berdasarkan biaya satuan (Unit
cost)
Biaya satuan adalah biaya yang dihitung untuk setiap satu
satuan produk pelayanan. Biaya satuan didapatkan dari pembagian antara biaya
total (Total Cost = TC) dengan jumlah produk (Quantity = Q).
Dengan demikian tinggi rendahnya biaya satuan suatu produksi tidak hanya
dipengaruhi oleh besarnya biaya total, tetapi juga dipengaruhi oleh besarnya
biaya produk
D. Analisis Biaya Rumah Sakit
Analisis biaya rumah sakit adalah suatu kegiatan
menghitung biaya rumah sakit untuk berbagai jenis pelayanan yang ditawarkan
baik secara total maupun per unit atau perpasien dengan cara menghitung seluruh
biaya pada seluruh unit pusat biaya serta mendistribusikannya ke unit-unit
produksi yang kemudian dibayar oleh pasien (Depkes, 1977).Menurut Gani (1996),
analisis biaya dilakukan dalam perencanaan kesehatan untuk menjawab pertanyaan
berapa rupiah satuan program atau proyek atau unit pelayanan kesehatan agar
dapat dihitung total anggaran yang diperlukan untuk program atau pelayanan
kesehatan.Dalam perhitungan tarif dirumah sakit seluruh biaya dirumah sakit
dihitung mulai dari :
1. Fixed Cost
Fixed cost atau biaya tetap ini terdiri dari :- Biaya
Investasi gedung rumah sakit- Biaya peralatan Medis- Biaya peralatan Medis-
Biaya Kendaraan (Ambulance, Mobil Dinas, Motor, dll)
2. Semi Variabel cost
- Gaji Pegawai- Biaya Pemeliharaan- Insentif- SPPD- Biaya
Pakaian Dinas- dll
3. Variabel Cost
- Biaya BHP Medis / Obat- Biaya BHP Non Medis- Biaya Air-
Biaya Listrik- Biaya Makan Minum Pegawai dan pasien- Biaya Telepon- dll
E. Manfaat analisis biaya
Manfaat utama dari analisis biaya ada empat yaitu
(Gani,A.2000).a. PricingInformasi biaya satuan sangat penting dalam
penentuan kebijaksanaan tarif rumah sakit. Dengan diketahuinya biaya satuan (Unit
cost), dapat diketahui apakah tarif sekarang merugi, break even,
atau menguntungkan. Dan juga dapat diketahui berapa besar subsidi yang dapat
diberikan pada unit pelayanan tersebut misalnya subsidi pada pelayanan kelas
III rumah sakit.b. Budgeting /PlanningInformasi jumlah biaya (total
cost) dari suatu unit produksi dan biaya satuan (Unit cost) dari
tiap-tiap output rumah sakit, sangat penting untuk alokasi anggaran dan
untuk perencanaan anggaran.c. Budgetary controlHasil analisis biaya
dapat dimanfaatkan untuk memonitor dan mengendalikan kegiatan operasional rumah
sakit. Misalnya mengidentifikasi pusat-pusat biaya (cost center) yang
strategis dalam upaya efisiensi rumah sakitd. Evaluasi dan Pertanggung
JawabanAnalisis biaya bermanfaat untuk menilai performance keuangan RS
secara keseluruhan, sekaligus sebagai pertanggungan jawaban kepada pihak-pihak
berkepentingan
ANALISIS BIAYA
PELAYANAN RUMAH SAKIT BERBASIS
STANDART PELAYANAN MEDIS SEBAGAI DASAR PENETAPAN TARIF DIAGNOSIS RELATED’S
GROUP (CASEMIX)
PENDAHULUAN
Organisasi selalu dihadapkan pada tekanan-tekanan yang
ditimbulkan oleh perubahan cepat dan tak terduga dari lingkungannya. Saat ini,
rumahsakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan menghadapi tekanan berupa
tingginya biaya operasional, terbatasnya sumberdaya, tuntutan terhadap
peningkatan pelayanan kesehatan dan resiko yang ditimbulkan oleh kesalahan
medis (medical error). Untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut,
beberapa perusahaan penjamin seperti PT Askes, Jamsostek dan beberapa lembaga
asuransi berusaha berinisiatif untuk saling terbuka dengan pemberi pelayanan
kesehatan/Rumahsakit untuk menyamakan berbagai persepsi sehingga diperlukan
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan baik pada organisasi lembaga penjamin
/ asuransi maupun pada unit pemberi pelayanan kesehatan melalui berbagai
program, hal yang paling krusial adalah adanya manajemen perubahan (change
management).
Penerapan manajemen perubahan dapat dilakukan melalui
beberapa pendekatan yang diaplikasikan pada sejumlah proses dalam organisasi.
Beberapa pendekatan yang biasa digunakan adalah 1) pengembangan organisasi
(organizational development), 2) manajemen sistem informasi (information system
management), 3) manajemen strategis (strategic management) dan 4) manajemen
proses (process management). Dan yang [paling mendesak untuk dilakukan adalah
pembenahan pada standart pelayanan medis dan analisis biaya pelayanan kesehatan
yang real maupun standart yang seharusnya terjadi.Unit pelayanan kesehatan
selalu didorong untuk dapat beroperasi secara efisien, dengan sumberdaya
terbatas untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang prima. Beberapa studi,
seperti survei yang dilakukan oleh Anderson Consulting terhadap
2752 manajer rumahsakit menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kualitas layanan
dan efisiensi biaya di rumahsakit, diperlukan prioritas-prioritas usaha yang
merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan tersebut yaitu adanya analisis biaya
pelayanan yang benar-benar realistis yang harus ada sehingga bisa dipakai untuk
menilai kinerja atau efisiensi dan adaya implementasi teknologi informasi untuk
mendukung fungsi administratif dan fungsi layanan kesehatan sehingga semua
proses bisa dilakukan secara cepat dan tepat, adanya usaha untuk mendorong
efisiensi di unit layanan kesehatan dengan selalu melakukan kontrol biaya dan
mereduksi beberapa biaya yang tidak value added, mendesain ulang prosedur
pelayanan medis dan prosedur administrative, menggunakan protokol terapi dan
dokumen asuh keperawatan serta, membentuk tim keperawatan multi disiplin.
Beberapa Rumahsakit saat ini sudah memulai beberapa
inisiatif bagi usaha peningkatan kualitas layanan dan efisiensi biaya
kesehatan. Usaha-usaha untuk menciptakan efisiensi dan memperbaiki prosedur
administrasi dan pelayanan medis telah ditempuh melalui kegiatan analisis dan
penghitungan unit biaya (cost) layanan, penyusunan standar pelayanan medis dan
pengembangan sistem informasi akuntansi. Namun hingga pada saat ini belum
dilaksanakan inisiatif terpadu implementasi beberapa pengembangan sehingga bisa
dikemas untuk menjadi guideline guna mewujudkan efisiensi biaya dan perbaikan
mutu pelayanan kesehatan. Fenomena yang terjadi saat ini adalah biaya pelayanan
kesehatan cenderung naik dari tahun ke tahun, terutama biaya pelayanan di rumah
sakit.
Kondisi ini dipicu oleh kenaikan harga obat, pemakaian
teknologi canggih dan kasus-kasus supply induced demand yang terjadi
akibat tidak adanya pedoman dan standar pelayanan medik yang pasti. Di sisi
lain saat ini terjadi banyak perubahan di rumahsakit, khususnya rumahsakit
pemerintah. Adanya desentralisasi, perubahan status RS menjadi PT, serta yang
terakhir pelayanan keluarga miskin (gakin) di rumahsakit merupakan beberapa isu
yang mempengaruhi pembiayaan pelayanan kesehatan di rumahsakit. Dampak
peningkatan biaya pelayanan kesehatan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat
pengguna jasa pelayanan kesehatan, lembaga pembayar dan penyelenggara pelayanan
kesehatan (PPK) terutama rumahsakit. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat
konsumen antara lain harga-harga produk pelayanan kesehatan semakin tidak
terjangkau.
Dampak yang dirasakan oleh Jamsostek sebagai salah satu
lembaga penjamin/pembayar biaya kesehatan di Indonesia adalah kesulitan
menyediakan biaya sesuai kebutuhan PPK agar dapat memberikan pelayanan yang
optimal bagi pasien-pasien dari lembaga penjamin seperti Jamsostek dll. Salah
satu kendala yang dihadapi adalah kurang memadainya biaya kesehatan yang
diberikan lembaga penjamin atau kurang memadainya mutu pelayanan yang diberikan
PPK. Sehingga hal ini seringkali memicu konflik antara Lembaga Penjamin dan
rumahsakit. Beberapa lembaga penjamin menganggap rumahsakit tidak efisien dalam
berbagai aspek termasuk menyangkut masalah mutu dan profesionalisme dokter.
Masalah lain yang dihadapi adalah pembayaran pelayanan di rumahsakit yang
sangat bervariasi antara rumahsakit yang satu dan lainnya. Hal ini disebabkan
selain karena adanya standar pelayanan yang berbeda beda antar rumahsakit dan
penggunaan sumber daya yang belebihan, juga oleh pengaruh industri obat yang
akan mempengaruhi perilaku dokter dalam peresepan. Untuk itu perlu dicari suatu
solusi untuk mengendalikan biaya pelayanan di rumahsakit melalui mekanisme
pembayaran pra upaya. Pembayaran pra upaya (prospective payment system)
adalah suatu cara pembayaran ke provider yang besarannya sudah ditetapkan
sebelum pelayanan tersebut diberikan dengan memperhitungkan sumber daya yang
digunakan.
Salah satu bentuk pembayaran pra upaya yang saat ini
sedang digalakkan adalah pembayaran berdasar tarif paket pelayanan
esensial.Strategi baru dalam menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin, adalah dengan dikembangkannya Paket Pelayanan Esensial (PPE). Dan untuk
memperoleh hasil perhitungan tarif PPE, rumahsakit harus terlebih dahulu
memiliki sistem informasi biaya yang baik dan telah menghitung unit cost
atau telah melakukan analisis biaya pelayanan berbasis aktivitas secara detail
pada setiap pelayanan ataupun per penyakitnya. Sehingga dimungkinkan bisa
dilakukan analisis sensitivitas untuk memberikan alternative pembiayaan sebagai
dasar negosiasi kepada stakeholder mengenai biaya yang terjadi atas
muatan tarif PPE yang diberlakukan. Pembiayaan pelayanan kesehatan berdasar
tarif PPE ini merupakan prasyarat dalam penggunaan dana PKPS BBM yang dikelola
oleh rumah sakit. Dalam sistem jaminan kesehatan nasional, khususnya untuk
menjamin kesehatan keluarga miskin dipersyaratkan tarif PPE sebagai dasar reimbursement
klaim ke rumah sakit. Diharapkan dengan adanya tarif PPE, biaya pelayanan rumah
sakit bisa lebih terkendali dan terjamin mutunya. Analisis biaya pelayanan
berbasis aktivitas dan tarif PPE ini diharapkan sebagai langkah awal yang
nantinya menjadi dasar tarif paket dengan model Diagnosis Related’s Group
(DRG). Tarif paket ini pada dasarnya berusaha mendorong agar pihak dokter di
rumahsakit menjadi sadar biaya (cost conscious) yaitu dengan cara
membuat mereka menanggung sebagian risiko finansial. Seperti diketahui dengan
model pembayaran sistem klaim yaitu menagih berapapun biaya yang telah
dikeluarkan kepada perusahaan/asuransi, rumahsakit tidak menanggung risiko
biaya apapun karena berapapun yang akan dikeluarkan akan dibayar. Oleh karena
itu, perlu ada sistem yang akan membuat rumahsakit harus efisien dalam
pelayanan, bila tidak maka pihak rumahsakit akan rugi. Caranya adalah dengan
mempaketkan biaya pelayanan kesehatan berdasarkan diagnosis. Dengan demikian
pihak rumahsakit diminta memprediksi obat dan tindakan yang akan dilakukan
terhadap pasien-pasien dengan diagnosis atau kelompok diagnosis tertentu.
SISTEM PENGHITUNGAN BIAYA BERBASIS CASEMIX
DAN DRG’S SEBAGAI MODEL SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN IDEAL SAAT INI Casemix maupun DRG’s
selama ini hanya merupakan keinginan dan cita-cita bagi pelayanan kesehatan di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan alasan pembiayaan dan
infrastruktur, sistem ini seakan sulit sekali terjangkau, pesimistis sebagian
pakar bahwa sistem ini hanya milik negara maju. Dengan dikeluarkannya UU No 40
Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) telah memberikan angin
segar (wind of change) pada perubahan pola pembayaran Rumahsakit ke depan,
karena rumahsakit akan dibayar dengan sistem pembayaran di muka (pre –
payment). Salah satu diantaranya adalah sistem DRG yang hingga saat ini belum
banyak Rumahsakit, lembaga asuransi maupun stake holdernya yang memahami
falsafah, konsep, metodologi, manfaat maupun perencanaan, proses dan
implementasinya.
Dengan sistem ini nantinya segala sesuatu seakan terasa
mudah, adil dan memuaskan bagi berbagai pihak karena sistem ini akan memberikan
penjaminan terhadap pasien akan kepastian biaya, mutu dan kecepatan serta
ketepatan proses karena IT / SIRS sangat berperan besar. Namun sistem ini
tentunya memerlukan berbagai kesiapan, mulai dari kesiapan SDM, komitmen
terhadap budaya kerja, investasi teknologi dan keilmuan yang tidak sedikit.
Namun setiap proses ke arah perbaikan perlu di mulai karena tidak akan pernah
ada hasil tanpa permulaan. Dan Depkes sudah mencoba memulainya dengan
menerapkan PPE sebagai jembatan menuju DRG’s dan memperkenalkan konsep ini ke
berbagai Rumahsakit sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, implementasinya
terasa sangat sulit sekali hingga pada awal september 2005 tim dari Universitas
Kebangsaan Malaysia dengan didampingi tim dari UGM dan UI diminta Depkes untuk
mensupport perencanaan Depkes dengan uji coba pada 15 RSUP di Indonesia dengan
model pendekatan yang paling mungkin bisa dilaksanakan, yang hingga pada saat
ini sedang berproses.
Casemix atau istilah
populer lainnya Patient Classification System (PCS), adalah sistem yang
mendeskripsikan perbedaan karakteristik kelompok-kelompok pasien. Secara lebih
spesifik, sistem ini mengkaitkan beberapa karakteristik pasien dengan
sumberdaya yang dikonsumsi. Kelompok pasien dikategorikan berdasarkan variasi
karakteristik data, semisal: 1. Data klinis (contoh: diagnosis, prosedur)2.
Data demografis (contoh: usia, jender)3. Data sumberdaya yang dikonsumsi
(contoh: biaya, lama rawat inap) Tergantung dari karakteristik data yang
digunakan untuk pengelompokan, hasil akhir dari pengelompokan pasien secara
klinis akan mirip dan/atau homogen sesuai dengan sumberdaya yang dikonsumsi.
Terdapat tiga fitur utama klasifikasi casemix:1. Kebermaknaan klinis:
suatu kelompok seharusnya relatif homogen dalam penyajian masalah, proses
keperawatan dan keluaran (outcome). Pasien di kelompok yang sama
seharusnya memiliki kesan kesamaan klinis yang ditangkap oleh petugas pelayanan
kesehatan yang merawat.2.
Penggunaan sumberdaya secara homogen: kelompok-kelompok casemix
seharusnya relatif homogen secara internal dan berbeda satu sama lain, dalam
hal konsumsi sumberdaya. Maka dari itu, pasien dalam kelas yang sama kurang
lebih memiliki biaya perawatan yang sama.3. Jumlah kelompok yang dapat
dikelola: Suatu sistem klasifikasi juga mensyaratkan jumlah optimal kelompok.
Idealnya, jumlah kelompk yang tepat, tidak terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Terlalu banyak kelompok berarti terdapat relatif sedikit perbedaan dalam biaya
antara kelas dan relatif sedikit pasien dalam tiap kelas. Terlalu sedikit kelas
akan menghasilkan sejumlah besar kasus-kasus tidak mirip ditempatkan dalam
kelompok yang sama dimana perbedaan sebenarnya tidak nampak dan kebermaknaan
klinis hilang. Seharusnya dilakukan cukup observasi di tiap kelompok sehingga
akan dikenal kelompok-kelompok dengan kasus-kasus tidak mirip. Proses ini
memastikan validitas internal di setiap kelompok (Hindle and Eagar, 1994).
Analisis statistik dapat dilakukan untuk memeriksa adanya
perbedaan antar kelompok relatif besar terhadap variasi internal. Maka dari itu
pengembangan suatu klasifikasi casemix memerlukan kombinasi analisa
statistik dan ketetapan klinis (Commonwealth Department of Human Services and
Health, 1994). Casemix dapat mendeskripsikan aktifitas yang dilakukan
oleh suatu rumahsakit serta membandingkannya dengan rumahsakit lain. Sistem
klasifikasi casemix yang tepat memungkinkan untuk dapat melacak (dengan
beragam tingkat keakuratan) biaya penyediaan pelayanan kesehatan pada beberapa
kelompok pasien. Sistem ini memungkinkan rumahsakit untuk memahami pola
karakteristik pemanfaatan sumberdaya dan mengidentifikasi pola kebiasaan serta
dapat menyediakan informasi untuk pengelolaan sumber daya rumahsakit secara
benar.
Sampai saat ini telah dikenal beberapa jenis pendekatan
pengukuran casemix, diantaranya adalah Disease Staging, Indexation,
Information Theory, Patient Care Unit, CPHA List A dan Isocost Groups. Akan
tetapi sistem casemix yang paling banyak dikenal saat ini adalah Diagnosis
Related’s Group (DRG), yang biasa digunakan untuk mengelompokkan pasien
rawat inap. DRG Klasifikasi Diagnosis Related’s Group (DRG) berasal
dari Amerika Serikat, dimana DRG dikembangkan pada akhir tahun 1960 an oleh
Prof. Bob Fetter di Universitas Yale. Sistem DRG didesain untuk mengelompokkan
secara bersama pasien rawat inap akut yang secara klinis mirip dan memiliki
kesamaan pola penggunaan sumberdaya. DRG menyediakan cara yang bermakna secara
klinis untuk menghubungkan jumlah dan tipe pasien yang dirawat dengan
sumberdaya yang digunakan. Kelompok DRG dihasilkan dari data diagnostik,
prosedur dan demografis yang secara rutin dikumpulkan pada lembar rekam medis
pasien rawat inap. Motivasi awal dari pengembangan DRG adalah menciptakan
sebuah kerangka kerja untuk memantau kualitas pelayanan dan utilisasi pelayanan
di rumahsakit, serta sebagai suatu cara untuk mengukur dan mengevaluasi keluaran
(output) sektor pelayanan kesehatan.
Tujuan tersebut baru tercapai tahun 1983 ketika HCFA-Medicare
DRG (saat ini dikenal dengan CMS DRG) mulai digunakan sebagai bagian dari
sistem pembayaran prospektif bagi pasien-pasien Medicare di Amerika
Serikat (Fetter, 1999). Sejak dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat,
sistem klasifikasi DRG kemudian dikembangkan dalam beberapa variasi, dimana
setiap varian memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (Muldoon,
1999). Di Amerika Serikat telah dilakukan beberapa modifikasi dan revisi
terhadap versi awal DRG (HCFA-Medicare DRG). Gambar. Perkembangan
Modifikasi dan Revisi DRG . Untuk dapat digunakan secara lebih luas, New
York State Department of Health (NYDH) bekerjasama dengan 3M Health Information
Systems (3M HIS) memodifikasi HCFA-Medicare DRG menjadi All Patient
DRG (AP-DRG) dengan menambah klasifikasi untuk kelompok pasien non-Medicare,
kelompok neonatus dan kelompok pasien HIV. Dalam perkembangannya, HCFA-Medicare
DRG berganti nama menjadi Center for Medicare and Medicaid (CMS) DRG,
dan secara berkelanjutan direvisi, hingga saat ini telah mencapai CMS DRG versi
22 (s/d 30 September 2005). Sedangkan All Patient DRG (AP-DRG) direvisi
menjadi All Patient Refined Diagnosis Related’s Groups (APR-DRG) dengan
menambahkan empat subgrup sebagai usaha untuk mendeskripsikan secara lebih baik
derajat keparahan penyakit yang diidap pasien. Kemudian pada awal tahun 2000
an, 3M Health Information Systems (3M HIS) mengembangkan International
Refined-DRG (IR-DRG) sebagai respon terhadap komunitas internasional yang
belum dapat mengembangkan grouper yang spesifik untuk negaranya. International
Refined-DRG (IR-DRG) masih menggunakan logika dan struktur yang sama dengan
sistem AP-DRG dan APR-DRG, akan tetapi mendukung baik pengkodean ICD-9-CM
maupun ICD-10.
Gambar. Perkembangan Modifikasi dan
Revisi DRG Hingga saat ini DRG menjadi metode pengelompokan episode pasien pasien
rawat inap yang paling dikenal dan secara luas digunakan untuk penghitungan
biaya, alokasi sumberdaya serta pembayaran (Sanderson, Anthony and Mountney,
1998). Tidak lama setelah HCFA-Medicare DRG digunakan sebagai suatu
model sistem pembayaran prospektif Medicare di Amerika Serikat, beberapa
negara diluar Amerika Serikat, seperti Kanada, Australia, Prancis dan
negara-negara Skandinavia dengan cepat mengadopsi DRG dengan beragam tujuan.
Gambar. Perkembangan Modifikasi dan
Revisi DRG. Negara-negara tersebut, umumnya mengambil model pengembangan
pengelompokan DRG Amerika Serikat dan memodifikasinya sesuai dengan
pertimbangan klinis lokal dan analisis sumberdaya. Modifikasi ini biasanya
mengikuti salahsatu dari tiga pendekatan berikut:1. Mengembangkan algoritma
pengelompokan. Pendekatan ini menggunakan prinsip yang sama dengan model
pengembangan pengelompokan di Amerika Serikat, akan tetapi sejak awal
mengembangkan sendiri algoritma pengelompokan DRG berdasarkan data dari sistem
pelayanan kesehatan di negara tersebut;2. Memetakan kode diagnostik dan kode
prosedur. Pada pendekatan ini, kode diagnostik lokal dan kode prosedur lokal
dipetakan ke sinonimnya di ICD-9-CM dan hasilnya dijalankan dengan grouper
orisinil;3.
Menggunakan kode diagnostik dan kode
prosedur lokal. Pada pendekatan ini, kode diagnosis dan kode prosedur
lokal/native menggantikan kode ICD-9-CD pada tiap kode definisi kelompok DRG.
(Heavens J, 1999) Inggris merupakan contoh negara yang mengikuti pendekatan
pertama. Melalui National Casemix Office, Inggris mengembangkan Health
Resource Group (HRG) dengan algoritma pengelompokan yang secara statistik
lebih koheren, klinis lebih relevan, dengan struktur kelompok pasien yang lebih
sederhana jika dibandingkan dengan DRG dari Amerika. Selain itu, Health
Resource Group (HRG) mempunyai kelebihan penerapan lebih luas, karena dapat
digunakan tidak hanya terbatas pada kelompok pasien rawat inap, tetapi juga
pada kelompok pasien rawat jalan dan kelompok pasien rawat rumah. (Heavens J,
1999) Australian National DRG’s (AN-DRGs) merupakan contoh bagi pendekatan
kedua dan ketiga. Australia menggunakan dasar HCFA-Medicare DRG
(sekarang dikenal dengan CMS DRG), dan melakukan modifikasi secara terus
menerus. Beberapa bentuk proses perbaikan adalah mengganti HCFA Medicare
DRG dengan AP-DRG sebagai native grouper, dan menggunakan Complicating Clinical
Factors (CCFs) seperti usia, keganasan dan CC sebagai penaksir keparahan agar
memenuhi kondisi lokal sistem pelayanan kesehatan di Australia. (Heavens J,
1999) Sebagai salahsatu variasi modifikasi dari HCFA-Medicare DRG,
Australian National DRG’s (AN-DRGs) cukup banyak dievaluasi dan diadopsi oleh
negara-negara lain. Selain digunakan oleh seluruh “health care agency”
di Australia, AN-DRG dan AR-DRG juga diadopsi oleh Selandia Baru, Singapura dan
Jerman sebagai metode pembayaran prospektif. Kekuatan utama AR-DRG terletak
pada :1. dipakainya klasifikasi diagnosis dan klasifikasi prosedur berkualitas
tinggi, 2. diterapkannya dengan baik diagnosis sekunder, 3. perbaikan secara
progresif untuk memperbaiki kebermaknaan klinis (tidak hanya kesamaan biaya)
sebagai hasil masukan secara terus-menerus dari para ahli serta, 4. ujicoba
yang akurat dengan digunakannya sebagai dasar pembayaran selama lebih dari
sepuluh tahun (Marušiè D. 2003).Akan tetapi minat beberapa negara untuk
mengadopsi AR-DRG seringkali tidak direalisasikan, karena Pemerintah Australia
sebagai pemilik hak cipta menetapkan biaya lisensi yang tinggi bagi negara yang
akan menggunakan sistem klasifikasi AR-DRG. (Marušiè D. 2003)
STUDI DAN PENERAPAN SISTEM PENGHITUNGAN
BIAYA KESEHATAN BERBASIS DRG DI INDONESIA Sejumlah tulisan dan studi menerangkan
pentingnya penerapan DRG di Indonesia. Akan tetapi belum pernah dilakukan
ujicoba penerapan DRG di Indonesia. Hingga pada tahun 2005 DepKes bekerjasama
dengan Rumahsakit dari Universitas Kebangsaan Malaysia mulai mencoba menerapkan
sistem ini di 15 RSUP, Yang pada saat ini sudah memasuki tahun I selama masa
pengembangan tahap pertama selama 4 (empat) tahun ke depan. Berbagai kendala
dan harapan dengan keberadaan sistem dan kualitas tenaga yang ada di
Rumahsakit, setidaknya telah menjadi pelajaran tersendiri dan memberi banyak
pengalaman bagi proses pembelajaran bagi berbagai pihak untuk menuju pada
sistem ideal yang diharapkan. Beberapa sumber menyebutkan hambatan teknis
pelaksanaan ujicoba, terutama persyaratan kelengkapan data dan alat bantu
pengelompokan DRG (DRG grouper). Dari hasil wawancara Waspada Online kepada
Mentri Kesehatan Kabinet Gotong Royong, Ahmad Sujudi (Sujudi A, 2004),
didapatkan poin-poin sebagai berikut: Selama ini metode pembayaran pemberi
pelayanan kesehatan DRG Diagnostic Related Group (khususnya rumah sakit) masih
dalam taraf pengembangan. Upaya pengembangan DRG yang dilakukan secara
konvensional dengan studi analisis sulit dilakukan karena ketidak sempurnanya
rekam medik dan standar pelayanan termasuk satuan biaya. Pelaksanaan DRG
sebagai standar tarif rumah sakit di Indonesia telah dijajaki sejak tahun 1995,
nemun secara lebih intensif baru dibahas pada tahun 2000. Karenanya
pengambangan DRG saat ini dilakukan dengan upaya “short cut, yaitu adopsi DRG
yang dianut beberapa negara tetangga (Australia, Singapura) untuk selanjutnya
dilakukan penyesuaian kasus, bauran kasus dan satuan biaya. Untuk maksud
tersebut, telah dibentuk Tim pengembangan DRG dengan upaya short cut terdiri
dari lintas sektoral dan lintas program, profesi terkait (Depkes, IDI, profesi
lain, Perhimpunan Rumah sakit, dan lain-lain). Untuk dapat terlaksananya
penyusunan DRG ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh rumah sakit
diantaranya; harus ada prosedur baku (Profesional Conduct), Harus ada
kesepakatan tindakan apa dan kasus apa serta menjadi kewenangan siapa,
kesepakatan penentuan bobot tindakan, tersedianya rekam medik yang lengkap dan
benar, serta perhitungan unit cost. Penyusunan DRG memang bukan hal yang
mudah, lengkah yang harus ditempuh masih cukup panjang dan masih memerlukan
effort, baik biaya maupun pemikiran yang harus disediakan. Sebagai langkah
antara, maka Depkes telah mengembangkan pola tarif di rumah sakit berdasarkan
Paket Pelayanan Esensial (PPE) yang diharapkan dapat dijadikan sebagai embrio
DRG yang saat ini dipakai dalam pelaksanaan program PKPS-BBM.Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh Trisnowibowo H di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
(Trisnowibowo H, 2001), didapatkan poin-poin sebagai berikut:
- Pada dasarnya pengelompokkan ini berdasarkan ICD-10 yang notabene adalah pengelompokkan secara internasional yang mungkin tidak cocok dengan klasifikasi penyakit yang terdapat di Indonesia, dengan demikian perlu dikembangkan suatu perangkat pengelompokkan pasien rawat inap rumah sakit yang akut dengan diagnosa utama sejenis berdasarkan ICD-10 yang sudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia.
- Pengembangan DRGs selanjutnya adalah pekerjaan besar yang memerlukan waktu panjang serta biaya yang besar dan melibatkan berbagai disiplin ilmu, diperlukan uluran tangan Departemen Kesehatan sebagai pemandu dalam kerja besar tersebut. Pengembangan ini berdasarkan ICD-10 yang sudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia serta didukung institusi pendidikan tinggi bidang kedokteran bersama-sama dengan organisasi profesi di bidang kedokteran juga menyusun dan mengembangkan “standard operating procedures “ layanan medis akut rumah sakit.
- Tahapan berikutnya adalah penyelenggaraan pilot project dengan jumlah sampel rumah sakit terbatas untuk uji coba pengelompokan berdasarkan diagnosa sejenis, baru kemudian dilakukan perhitungan biaya dengan menggunakan “cost and service” versi Indonesia.
BIAYA LAYANAN KESEHATAN STANDART
SEBAGAI PRASYARAT PENERAPAN SISTEM CASEMIX / DRG’S DI INDONESIA Sistem DRG,
sebagai salah satu metode casemix, merupakan suatu metode pengelompokan
kasus yang dapat digunakan sebagai acuan estimasi biaya layanan kesehatan yang
harus dibayar oleh pasien. Dalam hal ini, DRG akan dipandang sebagai sebuah
objek perhitungan biaya. Terminologi biaya layanan dalam pembahasan ini adalah
besaran nilai rupiah yang dikeluarkan atau dibayarkan oleh pasien maupun
penjamin pasien atas suatu tindakan atau episode perawatan pasien kepada rumah
sakit sebagai penyedia layanan kesehatan. Terminologi biaya dari sudut pandang
pasien sebagai pembeli layanan tersebut diatas, seringkali rancu dengan
terminologi biaya dari sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya.
Kandungan biaya pada terminologi biaya layanan kesehatan dari sudut pandang
pasien sebagai pembeli layanan tentu lebih luas dibanding kandungan biaya pada
terminologi biaya perawatan dari sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli
sumber daya. Pada sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya,
kandungan biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dikeluarkan rumahsakit atas
konsumsi seluruh sumber daya yang digunakan baik yang bersifat recurrent
cost maupun capital cost dalam aktivitas-aktivitas operasional
maupun non-operasional rumah sakit dalam rangka penyediaan layanan kesehatan.
Sedangkan kandungan biaya jika ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai
pembeli layanan kesehatan, biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dibutuhkan
sebagai nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah
sakit, baik yang dibayar oleh pasien langsung (out of pocket), penjamin
(insurance), maupun subsidi. Cakupan biaya yang terakhir lebih mengacu
pada besaran tarif yang dikenakan rumah sakit atas layanan kesehatan yang
disediakannya, yang tidak lain adalah sumber pendapatan rumah sakit. Elemen
yang terkandung dalam tarif adalah biaya (sudut pandang rumah sakit sebagai
pembeli sumber daya) dan margin. Margin adalah selisih antara
tarif dan biaya. Nilai margin dapat bernilai positif, yaitu tarif lebih besar
dari biaya atau seringkali disebut gain, namun dapat pula bernilai
negatif, yaitu tarif lebih kecil dari biaya atau disebut loss. Skema
biaya layanan kesehatan ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Bagan .
Skema Biaya Layanan Kesehatan Biaya Layanan Kesehatan : Sudut Pandang Rumah
Sakit sebagai Pembeli Sumber Daya Perhitungan biaya layanan kesehatan pada
sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya dapat dilakukan melalui
beberapa pendekatan. Dua pendekatan perhitungan biaya yang sering digunakan
adalah pendekatan cost modelling (seperti Yale Cost Model) dan
pendekatan individual patient costing atau clinical costing[1].
Cost modelling merupakan penjabaran dari metode perhitungan biaya
melalui pendekatan top down, sedangkan clinical costing merupakan
penjabaran dari metode perhitungan biaya melalui pendekatan bottom up.
Kedua pendekatan dalam metode perhitungan biaya tersebut dapat diadopsi untuk
mengestimasi biaya rata-rata masing-masing DRG dan dalam menentukan bobot biaya
(cost weights). Pendekatan Atas Bawah (Top Down Costing) Pendekatan
Cost modeling, sebagai penjabaran top down costing,
menggunakan beberapa indikator untuk mengalokasikan seluruh biaya, termasuk
biaya overhead, ke masing-masing DRG[2].
Metode ini menggunakan informasi utama dari rekening atau data keuangan rumah
sakit yang telah ada. Langkah pertama adalah mengidentifikasi
pengeluaran-pengeluaran rumah sakit yang terkait dengan penyediaan layanan
rawat inap. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan
pengeluaran-pengeluaran tersebut ke masing-masing cost center seperti
bangsal rawat inap (wards), gaji dan jasa medis tenaga medis dan
paramedis (medical salaries), ruang operasi (operating room),
bahan dan barang farmasi (pharmacy), radiologi (radiology),
patologi (pathology), dan pekerja sosial serta unit-unit biaya lain yang
terkait dengan penyediaan layanan kesehatan[3].
Pada pendekatan ini, biaya per pasien akan terdistribusi sesuai bobot pelayanan
yang telah ditetapkan sebelumnya (service weights) berdasarkan nilai
relatif masing-masing komponen biaya perawat, patologi, pencitraan (imaging),
perawatan intensif (ICU), dan biaya ruang operasi untuk seluruh DRG. Seluruh
biaya overhead secara bersama-sama akan dialokasikan berdasarkan lama rawat (length
of stay) pasien. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa untuk
mengaplikasikan top down costing, terlebih dahulu perlu mengidentifikasi
unit-unit yang ada di dalam rumah sakit sesuai struktural organisasi
operasional rumah sakit. Secara umum, unit-unit yang ada di rumah sakit dapat
dikategorikan ke dalam pusat biaya overhead (overhead cost centres),
pusat biaya perantara (intermediate (ancillary) cost centres), dan pusat
biaya pelayanan pasien (patient care (Final) cost centres)[4].
Pusat biaya overhead terdiri dari unit-unit yang menghasilkan produk dan/atau
jasa bagi unit-unit pusat biaya lain dan tidak menggunakan produk dan/atau jasa
dari unit pusat biaya lain (atau tidak menerima alokasi biaya dari unit lain).
Pusat biaya perantara terdiri dari unit-unit yang menghasilkan produk dan/atau
jasa untuk mendukung operasional unit-unit pusat biaya lain (yaitu, unit pusat
biaya pelayanan pasien). Berbeda dengan unit-unit pusat biaya overhead,
unit-unit pusat biaya perantara dalam aktivitas operasionalnya menggunakan
produk dan/atau jasa dari unit pusat biaya overhead, sehingga unit-unit pusat
biaya ini menerima alokasi biaya dari unit pusat biaya overhead. Terakhir,
pusat biaya pelayanan pasien (final) terdiri dari unit-unit yang menghasilkan
produk dan/atau jasa yang langsung digunakan oleh pasien, sebagai pengguna
produk dan/atau jasa akhir. Unit-unit pusat biaya pelayanan pasien dalam
aktivitas operasionalnya menggunakan produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh
unit pusat biaya perantara dan unit pusat biaya overhead, sehingga unit pusat
biaya ini akan menerima alokasi biaya dari unit pusat biaya overhead maupun
unit pusat biaya perantara sesuai produk dan/atau jasa yang digunakan.
Ilustrasi keterkaitan antar pusat-pusat biaya dan kerangka kerja pendekatan top
down costing di atas dapat dilihat pada bagan berikut ini. Bagan .
Keterkaitan antar pusat-pusat biaya dalam kerangka top down costing
Bagan . Kerangka kerja pendekatan top down costingPendekatan Bawah
Atas (Bottom Up Costing) Pendekatan Clinical costing, sebagai
penjabaran metode bottom up costing, mencakup pengumpulan data tentang
layanan-layanan yang diterima oleh pasien secara individual, seperti patologi,
radiologi, fisioterapi, dan keperawatan. Data-data tersebut selanjutnya akan
dikonversikan ke dalam nilai biaya per pasien menggunakan ukuran-ukuran relatif
antara elemen-elemen biaya dan jenis- jenis layanan. Penentuan ukuran-ukuran
ini kadang tidak didapatkan dari pengumpulan data di rumah sakit, maka
terkadang dikembangkan nilai ukuran relative value units (RVUs). Salah
satu metode bottom up costing yang banyak digunakan adalah activity
based costing (ABC). ABC adalah suatu metodologi pengukuran biaya dan
kinerja atas aktivitas, sumber daya, dan objek biaya[5].
ABC memilik dua elemen utama, yaitu pengukuran biaya (cost measures) dan
pengukuran kinerja (performance measures). Sumber daya-sumber daya
ditentukan oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukan, sedangkan
aktivitas-aktivitas ditentukan berdasarkan kebutuhan yang digunakan oleh objek
biaya. Konsep dasar ABC menyatakan bahwa aktivitas mengkonsumsi sumber daya
untuk memproduksi sebuah keluaran (output), yaitu penyediaan layanan
kesehatan. Melalui pemahaman konsep ABC tersebut di atas, keterkaitan antara service
lines, tarif, sumber daya, dan biaya yang dikeluarkan penyedia sumber daya
dalam kerangka interaksi antara pengguna layanan, rumah sakit, dan penyedia
sumber daya dapat diilustrasikan seperti pada bagan berikut ini.Bagan .
Keterkaitan antara service lines, tarif, sumber daya, dan biaya Pada
dasarnya langkah-langkah perhitungan biaya dalam metode ABC terdiri dari tiga
langkah utama. Pertama, mengumpulkan data mengenai aktivitas seluruh unit dalam
rumahsakit yang mendukung output. Kedua, mengembangkan pola keterkaitan
antara aktivitas-aktivitas tersebut terhadap masing-masing output.
Ketiga, mengembangan perhitungan biaya atas aktivitas-aktivitas kepada output.
Ilustrasi tiga langkah mendasar dalam ABC tersebut dapat dilihat dalam bagan
2.2.5. Dalam banyak kasus, biaya-biaya terkumpul pada sebuah unit dan untuk
mengkaitkan biaya–biaya dengan aktivitas-aktivitas membutuhkan suatu metodologi
pengalokasian yang spesifik. Tiga langkah mendasar tersebut digunakan dalam
mengimplementasikan sebuah sistem dimana unit-unit pelayanan (units of
service), program-program (programs), dan pusat-pusat
pertanggungjawaban (responsibility centers) menjadi fokus bagi manajemen
dalam mengakumulasi biaya. Bagan . Tiga Langkah Dasar perhitungan biaya metode ABC
dan Fokus Manajemen Dalam terminologi akuntansi biaya, area-area dimana
biaya-biaya dikelompokkan bersama disebut cost pools[6].
Jika fokus akumulasi biaya oleh manajemen adalah sebuah unit pelayanan,
contohnya laboratorium, maka unit pelayanan tersebut akan menjadi sebuah cost
pool. Jika fokus akumulasi biaya oleh manajemen adalah sebuah progam, maka
program tersebut akan menjadi sebuah cost pool. Cost pool sering
digunakan dalam sebuah proses akumulasi dua tahap (two-stage accumulation
process) dalam ABC. Sebagai contoh :
1.
Tahap pertama, biaya-biaya atas sumber daya-sumber daya
pendukung ditelusur ke masing-masing sumber daya, pengembangan menjadi beberapa
cost pool.
2.
Tahap kedua, masing-masing cost pool dialokasikan
ke masing-masing produk-produk dan jenis-jenis pelayanan. Alokasi cost pool
ditentukan berdasarkan seberapa besar masing-masing produk dan jenis pelayanan
secara spesifik mengkonsumsi aktivitas.
Namun, dalam pengembangan ABC, tidak semua orang
menggunakan prosedur cost pool. Ada yang memiliki pandangan lain
mengenai cost driver yang menjelaskan bahwa :
1.
Pemicu sumber daya (resource drivers) sebagai
mekanisme yang digunakan untuk menentukan biaya sumber daya-sumber daya ke
masing-masing aktivitas, dan
2.
Pemicu aktivitas (activity driver) sebagai
mekanisme untuk menentukan biaya aktivitas-aktivitas ke masing-masing produk
atau jenis pelayanan.
Namun apapun mekanisme yang digunakan baik cost pool maupun
resource and activity driver, hal utama yang harus digarisbawahi adalah
bahwa prinsip dalam ABC harus selalu mempertimbangkan “Products consume
activities and activities consume resources” (Produk-produk mengkonsumsi
aktivitas-aktivitas dan aktivitas-aktivitas mengkonsumsi biaya)6.
Ilustrasi kerangka mekanisme kerja dalam metode ABC dapat dilihat pada bagan
berikut ini. Bagan . Kerangka dan prinsip kerja activity based costing Biaya
Layanan Kesehatan : Sudut Pandang Pasien sebagai Pembeli Layanan Kesehatan Biaya
layanan kesehatan jika ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai pembeli
layanan kesehatan, biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dibutuhkan sebagai
nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit,
baik yang dibayar oleh pasien langsung (out of pocket), penjamin (insurance),
maupun subsidi. Jika terminologi ini ditinjau dari sudut pandang rumah sakit
sebagai penyedia layanan kesehatan, maka biaya layanan kesehatan yang dimaksud
di sini tidak lain adalah tarif (charge) yang dikenakan rumah sakit atas
layanan kesehatan yang diberikannya. Beberapa peneliti telah menggunakan nilai billing
(tarif) sebagai proksi pengukuran biaya layanan kesehatan[7].
Permasalahan yang terjadi, seringkali billing (tarif) berbeda dengan
biaya aktual yang dikeluarkan rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Selisih
beda tersebut disebut margin. Jadi, pada dasarnya elemen yang terkandung
dalam tarif adalah biaya (sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber
daya) dan margin. Nilai margin dapat bernilai positif, yaitu
tarif lebih besar dari biaya atau seringkali disebut gain, namun dapat
pula bernilai negatif, yaitu tarif lebih kecil dari biaya atau disebut loss.
Manajemen rumah sakit diharapkan telah mempertimbangkan besar biaya yang
dikeluarkan rumah sakit dalam menyusun tarif. Sehingga besaran tarif yang
dihasilkan cukup representatif untuk menggambarkan besarnya nilai ganti
ekonomis yang diinginkan rumah sakit. Pasien, asuransi, dan pemerintah, sebagai
pembeli/penyedia dana layanan kesehatan, berkepentingan untuk mendapatkan
kepastian atas nilai ganti ekonomis yang harus mereka keluarkan atas layanan
kesehatan yang telah diberikan rumah sakit. Besaran nilai ganti ekonomis atas
layanan kesehatan yang telah diberikan tersebut oleh manajemen rumah sakit
telah direpresentasikan dalam nilai tarif layanan kesehatan. Jika dilihat dari
sudut pandang pembeli/penyedia dana layanan kesehatan, mekanisme transfer atas
nilai ganti ekonomis antara pembeli layanan kesehatan kepada penyedia layanan
kesehatan sering kali disebut sistem pembayaran layanan kesehatan. Secara umum,
sistem pembayaran layanan kesehatan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sistem
pembayaran prospektif dan sistem pembayaran retrospektif[8].
Sistem pembayaran prospektif adalah suatu sistem dimana besaran nilai
pembayaran atas suatu layanan disusun atau ditetapkan sebelum layanan
diberikan. Sistem pembayaran retrospektif adalah suatu sistem dimana besaran
nilai pembayaran atas suatu layanan disusun atau ditetapkan setelah layanan
diberikan. Sistem kelompok diagnosa terkait (Diagnostis Related Groups)
merupakan salah salah satu model sistem pembayaran prospektif. Sistem
pembayaran yang terjadi di Indonesia saat ini adalah fee-for-services dan
sistem per diem. Sistem ini merupakan salah dua model sistem pembayaran yang
cenderung retrospektif. Jumlah seluruh tarif atas layanan-layanan yang diterima
pasien untuk satu episode perawatan atas suatu kelompok diagnosa terkait (DRG),
tidak lain adalah representasi proksi biaya layanan kesehatan yang dikeluarkan
pasien, asuransi, dan pemerintah sebagai nilai ganti ekonomis atas suatu paket
layanan kesehatan kepada seorang pasien penderita serangkaian kelompok diagnosa
tertentu. Hanya saja margin yang terkandung dalam tarif tersebut bukanlah
margin antara paket biaya aktual dan tarif paket per DRG, melainkan margin
gabungan dari seluruh margin antara biaya aktual dan tarif per jenis pelayanan
yang diterima seorang pasien dalam satu episode perawatan tententu. Sebagai
ilustrasi atas argumen ini, dapat dilihat pada bagan berikut : Bagan. Kerangka
pembebanan biaya layanan kesehatan kepada pengguna layanan (pasien) pada pola fee-for-services
Bagan. Kerangka pembebanan biaya layanan kesehatan kepada pengguna layanan
(pasien) pada pola DRG Kesiapan sistem pendataan, administrasi
dan keuangan serta cost culture pada lembaga pemberi pelayanan kesehatan
/ Rumahsakit akan merupakan kekuatan yang besar sehingga sistem yang ideal akan
bisa dijalankan. Namun demikian berbagai pihak harus membuat
terobosan-terobosan untuk memulai pada tahap awal sebagai jembatan-jembatan
menuju pada sistem yang ideal. Melalui berbagai kemungkinan aplikasi yang
bervariasi pada industri-industri pelayanan kesehatan maupun dalam pengembangan
program-program terpadu di sektor kesehatan. Hal ini akan memberi jalan pada
kemungkinan suatu terobosan baru pada ilmu pembiayaan untuk pelayanan kesehatan
yang unggul dan seharusnya berjalan pada industri pelayanan kesehatan yaitu
sistem penghitungan biaya pelayanan standart sesuai protap medis yang
seharusnya berjalan yang pada ilmu pembiayaan modern disebut pembiayaan
berbasis aktivitas (Activity Based Costing). Activity Based Costing
inilah pilar yang akan menjembatani pada suatu tools yang sifatnya ideal dan
lebih advance yaitu sistem pembiayaan berbasis “Diagnosis Related
Groups (DRG). PENUTUPAdanya Analisis Biaya Pelayanan Standart ini
diharapkan bisa menjadi investasi bagi Lembaga Penjamin/Pembayar/Jamsostek
maupun Rumahsakit dalam pengembangan sistem pembiayaan yang lebih baik di masa
depan. Dengan adanya win-win solution antara berbagai pihak dan berbagai
action-action yang terencana diharapkan biaya kesehatan bisa lebih
terkendali, lebih adil, bermutu, dan memberikan perlindungan bagi masyarakat.
Walaupun kecil, setiap proses harus dimulai dengan pengharapan yang lebih besar
untuk perbaikan wajah pelayanan kesehatan di Indonesia dan diharapkan akan
mendukung program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) maupun
kebijakan-kebijakan terkait yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah
Managed Care di Indonesia
Meningkatnya
taraf kehidupan telah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang lebih baik dan bermutu, sesuai dengan kemajuan ilmu
dan teknologi di bidang kesehatan dan kedokteran.
Ternyata industrialisasi di sektor kesehatan juga telah mendorong meningkatnya biaya kesehatan, lebih cepat dari kemampuan masyarakat untuk membiayainya. Industrialisasi juga menimbulkan persaingan dari para pemberi pelayanan kesehatan (dokter, rumah sakit, klinik, laboratorium, dsb.) dan industri kesehatan lainnya (farmasi, alat-alat kedokteran dan kesehatan lainnya). Fenomena makin meningkatnya utilisasi (pemanfaatan) pelayanan yang meningkatkan biaya kesehatan mulai tampak cenderung makin mengabaikan efektifitas dan efisiensi pelayanan kesehatan.
Promosi rumah sakit / klinik yang memiliki alat-alat kedokteran canggih diikuti peningkatan pemanfaatan alat-alat canggih, dan pemberian obat-obatan terbaru yang lebih mahal, meskipun belum tentu sesuai dengan kebutuhan medis (medically unnecessary).
Tarif rumah sakit makin berorientasi menjadi unbundling, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan. Biaya operasi diurai menjadi banyak tarif, terdiri dari jasa-jasa dokter ahli bedah, dokter ahli anestesi, asisten bedah, asisten anestesi, sewa kamar, sewa alat operasi, sewa alat anestesi, oksigen, dan sebagainya. Beberapa rumah sakit menerapkan kebijakan memasang tarif untuk perawat – misalnya mengambil darah, menyuntik, memasang infus, dan sebagainya – yang sebelumnya telah menjadi satu paket dalam tarif kamar rawat inap.
Utilisasi pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Faktor lingkungan makro mencakup demografik, psikografik, sosial-budaya, norma-etika, hukum, dan locus of healthcare decisions (pihak-pihak terkait yang dalam keputusan pemberian pelayanan kesehatan). Lingkungan mikro meliputi status kesehatan, pola penyakit, disablitas, sumberdaya, sistem pembiayaan dan pendanaan. Dari berbagai faktor tersebut, aspek paling dominan adalah sikap dan perilaku institusi maupun individu dalam memproduksi atau mengkonsumsi jasa pelayanan kesehatan.
Salah satu faktor penting terkait dengan makin meningkatnya biaya kesehatan (yang tidak perlu) adalah metoda kompensasi memberikan insentif pada dokter berdasarkan produktifitas, yang terbukti dapat mendorong pemanfaatan pelayanan kesehatan yang berlebihan (over utilization).
Faktor sikap dan perilaku juga dapat dilihat dari kecenderungan (dokter maupun pasien) untuk memilih obat bermerek yang lebih mahal daripada obat generik –meskipun khasiatnya sama – tidak lepas dari tujuan untuk mencapai keuntungan lebih besar. (Catatan: obat generik dapat diproduksi oleh perusahaan farmasi lain karena hak patent dari penemu telah habis masa berlakunya.)
Meningkatnya penyakit akibat gaya hidup (life style related disease: kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung koroner, stroke, dsb.) juga menimbulkan permasalahan besar dalam biaya kesehatan, karena membutuhkan pengobatan jangka panjang yang mahal. Faktor risiko penyakit kronik tersebut akan makin meningkat dengan bertambahnya umur. Padahal pendapatan sebagian besar penduduk usia lanjut (lebih dari 65 tahun, WHO) akan makin berkurang.
Proyeksi jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia tahun 2000 sebesar 7,28% diprediksikan pada tahun 2020 akan menjadi sebesar 11,34% (BPS, 1992). Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia, antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%. Bisa dipastikan permasalahan biaya kesehatan usia lanjut akan menjadi ancaman terbesar bagi negara kita dimasa depan, bila tidak dilakukan antisipasi proaktif.
Tatanan pelayanan kesehatan di negera kita masih sangat dipengaruhi pasar, tanpa regulasi yang efektif untuk pengendalian biaya. Tetapi bagaimana kita mampu menerapkan pengendalian terhadap biaya kesehatan?
Di berbagai negara, pengendalian biaya kesehatan dipilih sebagai topik utama dalam kampanye oleh banyak kandidat presiden, tentu disertai program kerja yang jelas. Nixon mengkampanyekan program pengendalian biaya kesehatan melalui Health Mainteance Organization (HMO, salah satu sistem yang paling ketat dalam managed care). Hillary Clinton selalu menyajikan program reformasi pengendalian biaya kesehatan yang cost-effective guna kesinambungan jaminan kesehatan (khususnya bagi kelompok usia lanjut, Medicare).
Manajemen pengendalian utilisasi pelayanan dalam managed care terfokus pada peran dokter sebagai key person yang menentukan pemeriksaan dan pengobatan bagi penderita. Untuk melaksanakan managed care diperlukan dokter pelayanan primer (primary care physician) yang berkompenten menegakkan diagnosis serta memberikan pengobatan dini dan tepat saat menghadapi pasien sakit. Sang dokter pelayanan primer primer juga menerapkan pelayanan kesehatan secara menyeluruh yang berkesinambungan. Dan yang terpenting, perlu adanya metoda kompensasi untuk memberikan insentif bagi dokter yang mampu memberikan pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien (cost effective care).
Ternyata industrialisasi di sektor kesehatan juga telah mendorong meningkatnya biaya kesehatan, lebih cepat dari kemampuan masyarakat untuk membiayainya. Industrialisasi juga menimbulkan persaingan dari para pemberi pelayanan kesehatan (dokter, rumah sakit, klinik, laboratorium, dsb.) dan industri kesehatan lainnya (farmasi, alat-alat kedokteran dan kesehatan lainnya). Fenomena makin meningkatnya utilisasi (pemanfaatan) pelayanan yang meningkatkan biaya kesehatan mulai tampak cenderung makin mengabaikan efektifitas dan efisiensi pelayanan kesehatan.
Promosi rumah sakit / klinik yang memiliki alat-alat kedokteran canggih diikuti peningkatan pemanfaatan alat-alat canggih, dan pemberian obat-obatan terbaru yang lebih mahal, meskipun belum tentu sesuai dengan kebutuhan medis (medically unnecessary).
Tarif rumah sakit makin berorientasi menjadi unbundling, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan. Biaya operasi diurai menjadi banyak tarif, terdiri dari jasa-jasa dokter ahli bedah, dokter ahli anestesi, asisten bedah, asisten anestesi, sewa kamar, sewa alat operasi, sewa alat anestesi, oksigen, dan sebagainya. Beberapa rumah sakit menerapkan kebijakan memasang tarif untuk perawat – misalnya mengambil darah, menyuntik, memasang infus, dan sebagainya – yang sebelumnya telah menjadi satu paket dalam tarif kamar rawat inap.
Utilisasi pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Faktor lingkungan makro mencakup demografik, psikografik, sosial-budaya, norma-etika, hukum, dan locus of healthcare decisions (pihak-pihak terkait yang dalam keputusan pemberian pelayanan kesehatan). Lingkungan mikro meliputi status kesehatan, pola penyakit, disablitas, sumberdaya, sistem pembiayaan dan pendanaan. Dari berbagai faktor tersebut, aspek paling dominan adalah sikap dan perilaku institusi maupun individu dalam memproduksi atau mengkonsumsi jasa pelayanan kesehatan.
Salah satu faktor penting terkait dengan makin meningkatnya biaya kesehatan (yang tidak perlu) adalah metoda kompensasi memberikan insentif pada dokter berdasarkan produktifitas, yang terbukti dapat mendorong pemanfaatan pelayanan kesehatan yang berlebihan (over utilization).
Faktor sikap dan perilaku juga dapat dilihat dari kecenderungan (dokter maupun pasien) untuk memilih obat bermerek yang lebih mahal daripada obat generik –meskipun khasiatnya sama – tidak lepas dari tujuan untuk mencapai keuntungan lebih besar. (Catatan: obat generik dapat diproduksi oleh perusahaan farmasi lain karena hak patent dari penemu telah habis masa berlakunya.)
Meningkatnya penyakit akibat gaya hidup (life style related disease: kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung koroner, stroke, dsb.) juga menimbulkan permasalahan besar dalam biaya kesehatan, karena membutuhkan pengobatan jangka panjang yang mahal. Faktor risiko penyakit kronik tersebut akan makin meningkat dengan bertambahnya umur. Padahal pendapatan sebagian besar penduduk usia lanjut (lebih dari 65 tahun, WHO) akan makin berkurang.
Proyeksi jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia tahun 2000 sebesar 7,28% diprediksikan pada tahun 2020 akan menjadi sebesar 11,34% (BPS, 1992). Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia, antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%. Bisa dipastikan permasalahan biaya kesehatan usia lanjut akan menjadi ancaman terbesar bagi negara kita dimasa depan, bila tidak dilakukan antisipasi proaktif.
Tatanan pelayanan kesehatan di negera kita masih sangat dipengaruhi pasar, tanpa regulasi yang efektif untuk pengendalian biaya. Tetapi bagaimana kita mampu menerapkan pengendalian terhadap biaya kesehatan?
Di berbagai negara, pengendalian biaya kesehatan dipilih sebagai topik utama dalam kampanye oleh banyak kandidat presiden, tentu disertai program kerja yang jelas. Nixon mengkampanyekan program pengendalian biaya kesehatan melalui Health Mainteance Organization (HMO, salah satu sistem yang paling ketat dalam managed care). Hillary Clinton selalu menyajikan program reformasi pengendalian biaya kesehatan yang cost-effective guna kesinambungan jaminan kesehatan (khususnya bagi kelompok usia lanjut, Medicare).
Manajemen pengendalian utilisasi pelayanan dalam managed care terfokus pada peran dokter sebagai key person yang menentukan pemeriksaan dan pengobatan bagi penderita. Untuk melaksanakan managed care diperlukan dokter pelayanan primer (primary care physician) yang berkompenten menegakkan diagnosis serta memberikan pengobatan dini dan tepat saat menghadapi pasien sakit. Sang dokter pelayanan primer primer juga menerapkan pelayanan kesehatan secara menyeluruh yang berkesinambungan. Dan yang terpenting, perlu adanya metoda kompensasi untuk memberikan insentif bagi dokter yang mampu memberikan pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien (cost effective care).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar