Rabu, 28 November 2012

Fetisisme  Komoditas

***
Setelah IJ-EPA (Indonesia – Japan Economic Partnership Agreement) berlaku dan secara bertahap—sejak tahun 2008 diterapkan, dampaknya mulai dirasakan oleh para pencinta mobil mewah buatan Jepang. Dampaknya adalah menurunnya harga jual beberapa jenis mobil mewah Jepang, baik untuk jenis MPV (multi purpose vehicle) maupun sedan di bawah 3000cc. Joko Trisanyoto, Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor, sudah mengatakan,“Untuk Toyota Alphard di bawah 3000cc, harga berkurang sekitar Rp 50 juta hingga Rp 80 juta per unit.” Dalam kerangka kerjasama IJ-EPA, ATPM (agen tunggal pemegang merek) mobil Jepang sudah mendapat pengurangan bea masuk impor secara bertahap. Sejak diratifikasi pada 1 Juli 2008, tarif bea masuk mobil mewah di atas 3000cc sudah turun dari 45% menjadi hanya 4%. Dan sejak 1 Januari 2012, kendaraan mewah di bawah 3000cc yang diimpor secara CBU (completely build up) tarif bea masuknya turun dari 40% menjadi 20%.

Di bawah bendera Lotteria, konglomerasi asal Korea, Lotte Holdings Co Ltd, menggandeng PT Mondial Risjad Fastana sebagai master franchise-nya untuk membuka bisnis gerai restoran cepat saji. Dengan berselancar di atas demam pop Korea, mereka berencana untuk mengkapitalisasi gemerlapnya tren atau mungkin fad ini. Dengan persiapan modal kerja sebesar US$ 20 juta mereka siap berekspansi di Indonesia. Targetnya 40–50 gerai restoran cepat saji hingga tahun 2015. Tahun ini, bakal ada 15 gerai di Jakarta, dengan biaya pembangunan per gerai sekitar Rp 3 miliar, dan target penjualan perbulan nantinya sekitar Rp 500 juta sampai Rp1 miliar. Presiden Direktur PT Mondial Risjad Fastana Handi Irawan yakin bahwa demam pop Korea dikombinasikan dengan menu restoran yang cocok dengan lidah masyarakat Asia akan menjadi keunggulan restoran cepat saji asal Korea ini. Ambisinya adalah menjadi restoran cepat saji terbesar ketiga di Indonesia pada tahun 2020. Diperkuat oleh sinyalemen Adhi Siswaja Lukman yang Ketua GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia), “Menurut World Bank, 135 juta penduduk Indonesia adalah kelas menengah dan generasi muda yang selalu ingin mencoba hal baru. Ini yang dilihat oleh waralaba asing, sehingga mereka mau masuk ke Indonesia.”

Sementara itu, di sektor produk electronic consumer goods, Panasonic lewat PT Panasonic Gobel Indonesia merasa optimistis pendapatannya bakal naik tahun ini sejalan dengan pertumbuhan pasar di Indonesia. Target pertumbuhannya dua digit (di atas 10%). Tahun lalu (2011) penjualannya tercatat Rp 5,2 triliun, dan itu adalah peningkatan 30% dibanding penjualan tahun sebelumnya (2010) yang sebesar Rp 4 triliun. Presiden Direktur PT Panasonic Gobel Indonesia Ichiro Suganuma menjustifikasi keyakinannya sebagai berikut,“Ke depan, pasar elektronik juga akan terus tumbuh karena ada kebijakan pemerintah yang menargetkan pada tahun 2020 seluruh wilayah Indonesia sudah dapat mengonsumsi listrik.”
***
Dalam argumentasinya dulu, Karl Marx mengatakan bahwa di dalam masyarakat dimana banyak produsen swasta independen berinisiatif untuk memperdagangkan produk-produknya satu sama lain, maka volume produksi dan aktivitasnya hanya bisa disesuaikan satu sama lain lewat fluktuasi nilai-nilai dari produk-produk tersebut tatkala dipertukarkan di pasar. Lalu,koeksistensi sosial mereka dan maknanya diekspresikan melalui aktivitas perdagangan dan transaksi yang terjadi di pasar. Di sini,setiap orang tidak punya relasi satu sama lain terkecuali untuk keperluan transaksi diantara mereka. Sehingga, relasi sosial mereka secara konstan dimediasi dan diekspresikan oleh benda-benda (komoditi dan uang). Dalam kelanjutannya terjadilah dominasi benda-benda dan objektifikasi dari nilai (theobjectivication of value).

Pemikiran ini dikembangkan lebih lanjut oleh Georg Lukacs, yang melihat bahwa reifikasi adalah kendala utama kesadaran kelas lantaran pertumbuhan kapitalisme telah mengonversi seluruh lapisan kehidupan manusia menjadi semata-mata “produk” yang bisa dipasarkan, bisa dibeli, dan bisa dijual. Maka bentuk komoditi (mengomodifikasi segalanya) menginvasi semua jenis kesadaran manusia. Lalu, Guy Debord maju lebih jauh dengan teori “societyof the spectacle” di mana relasi antar manusia dipandang sebagai relasi antar citraan (relations among images). Dengan tajam Debord menyindir, “The spectacle is the form taken by society once the instrument of cultural production have become wholly commoditized, and subject to commercial trade, so that aesthetic value becomes ruled by commercial value, and artistic expressionsare shaped by their ability to attract marketsales.” Sehingga dalam perkembangannya di kemudian hari, “…the whole sphere of personal consumption is reorganized according to commercial principles.” Bahkan,“…as in modern society even the deep estintimacies of inter-subjective and personal self relating become subject to commodification and are turned into separate ‘experiences’ which can be bought and sold as a ‘product’ for a price.” Maka, puncak dari alienasi manusia terjadi tatkala orang mulai memandang seluruh keberadaannya sebagai komoditas yang bisa dipasarkan, serta menganggap setiap interaksi antar manusia sebagai transaksi (potensi transaksi) belaka.
***
Sebagai pemasar dan sebagai konsumen, kita semua pertama-tama adalah manusia. Dalam peran sebagai aktor dalam panggung pemasaran kita masuk dalam skenario besar yang bisa saja mencabut hakekat kemanusiaan kita dari yang esensial untuk kemudian terjerembab terus ke yang aksidentalia terhadap totalitas kemanusiaan. Bahaya alienasi akibat fetisisme komoditas nampaknya sudah kronik dan semakin akut di blantika postmodern ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar